Mohon tunggu...
Musni Umar
Musni Umar Mohon Tunggu... -

Sociologist and Researcher, Ph.D in Sociology, National University of Malaysia (UKM)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rekening Gendut Kepala Daerah dan Modus Cuci Uang Hasil Korupsi

14 Desember 2014   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:20 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, publik pernah dihebohkan tentang rekening gendut polisi. Media memberitakan isu tersebut, tetapi kemudian lenyap tanpa ketahuan rimbanya.

Kini muncul isu baru “rekening gendut kepala daerah”. Muhammad Yusuf, Kepala Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Talk Show di Berita Satu (13/12/2014) mengungkapkan telah bertemu Jaksa Agung yang baru (11/12/2014) untuk memperbaharui laporan hasil penelusuran PPATK tentang dugaan rekening gendut kepala daerah yang pernah diserahkan tahun 2012.

Setidaknya terdapat 10 rekening gendut kepala daerah, 8 diantaranya ditangani Kejaksaan Agung RI. Akan tetapi, sudah berlalu 2 tahun sejak PPATK menyerahkan hasil penelusuran dugaan rekening gendut kepala daerah, belum ada hasilnya.

Yang sudah ada hasil, kasus rekening gendut kepala daerah yang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Fuad Amin Imron, mantan Bupati Bangkalan merupakan salah satu pemilik rekening gendut kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan sudah ditahan KPK beberapa hari lalu.

Dalam rangka kontribusi terhadap pemberantasan korupsi, saya menulis kasus rekening gendut kepala daerah, dengan harapan ikut mendorong percepatan pengusutannya dan tidak mengalami nasib seperti dugaan rekening gendut polisi.

Modus Korupsi

Modus korupsi yang dilakukan kepala daerah atau pejabat publik melalui transaksi antar bank dengan menerima transfer sejumlah dana ke rekening pejabat yang bersangkutan, sangat mudah dilacak oleh PPATK.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan jejak dari pelacakan PPATK, para pejabat (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hanya mau melalui transaksi tunai. Penyogok langsung datang ke rumah, kantor atau bertemu di suatu tempat, lalu menyerahkan dana secara tunai (kontan).

Cara terrsebut masih bisa dilacak PPATK, jika dana yang diterima dari hasil korupsi disetor ke bank dengan nama yang bersangkutan, nama isteri, anak, sopir, sanak famili, atau perusahaan, seperti yang dilakukan terhadap Fuad Amin Imron.

Sejatinya ada undang-undang yang melarang transaksi tunai dalam jumlah besar, yang dimulai dengan pembatasan penarikan uang tunai dalam jumlah besar.

Selama ini instansi pemerintah dan swasta masih banyak yang menarik dana tunai dalam jumlah besar dengan berbagai alasan misalnya untuk membayar gaji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun