[caption id="attachment_409979" align="aligncenter" width="600" caption="Keluarga Halilintar/Kompas Travel"][/caption]
Tadi malam (13/4/2015) di KompasTV dalam program kompasianaTV menghadirkan keluarga Halilintar yang mempunyai anak 11 orang sebagai tamu istimewa. Halilintar dan isterinya serta seluruh anaknya yang berjumlah 11 orang tampil di KompasTV dengan presenter Cindy Sistyarani.
Dalam dialog yang dikomentari dan tanya jawab dengan para blogger Kompasiana, anak tertua Halilintar yang terjun ke dunia bisnis mengemukakan hasratnya untuk mempunyai anak sebanyak 15 orang. Selain itu, mereka memperlihatkan buku yang ditulis bersama dengan judul “Kesebelasan Gen Halilintar”.
Penampilan keluarga Halilintar di layar kaca secara tidak disadari Kompas TV telah mempromosikan bahwa banyak anak hebat dan menarik diikuti. Dalam masyarakat yang paternalistik dan terbuka, peranan TV dan media sangat memengaruhi masyarakat.
Program Banyak Anak
Dalam masyarakat urban, terdapat kelompok ideologis yang menganut paham bahwa banyak anak dianjurkan agama. Kelompok ini belum terlalu besar jumlahnya, tetapi mereka tergolong kelompok kelas menengah (middle class) dengan tingkat pendidikan yang mumpuni seperti keluarga Halilintar.
Kader-kader dari kelompok ini sudah ada yang mengalami mobilitas vertikal sampai menjadi menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, anggota parlemen di semua tingkatan.
Bagi mereka, tidak terlalu masalah mempunyai banyak anak karena memiliki pekerjaan dan penghasilan yang memadai sehingga bisa mendidik dan menyekolahkan anak-anak mereka di berbagai sekolah dan universitas terkemuka di dalam dan keluar negeri.
Kehidupan mereka yang mapan dan menjadi public figure karena mempunyai kekuasaan, dan kedudukan sosial dan ekonomi yang cukup secara langsung ataupun tidak langsung menarik diikuti anak-anak muda yang akan melangsungkan perkawinan dengan menjadikan mereka sebagai contoh teladan bahwa banyak anak bisa hebat, maju, dan berkualitas.
Sebaliknya, yang ramai ditemui di dalam masyarakat, banyak anak, tetapi malangnya tidak mempunyai penghasilan tetap dan bahkan penganggur, sehingga anak-anak mereka menjadi korban. Untuk menopang kehiupan ekonomi keluarga, anak-anak mereka yang masih kecil, sejatinya masih belajar dan bermain bersama teman-temannya, dipekerjakan untuk mendapatkan uang, misalnya menjadi pengamen dan peminta-minta di jalanan, pekerja di termal, pabrik dan lain sebagainya.
Secara sosiologis dan ekonomis, banyak anak untuk masyarakat bawah, bukan kebahagian, kemajuan dan kualitas keluarga yang diperoleh, justeru sebaliknya yaitu penderitaan dan kesengsaraan yang tidak berakhir.