Masyarakat Indonesia di hampir semua suku, agama, etnik dan golongan serta daerah, bagaikan ilalang kering yang sangat mudah terbakar atau dibakar.
Sangat sulit diterima oleh akal sehat seorang ibu keturunan etnik Tionghoa (Cina) yang datang ke Masjid untuk memprotes karena kumandang azan mengganggu yang bersangkutan, kemudian masyarakat Muslim di sekitar itu marah dan membakar puluhan Vihara dan Klenteng di Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Menurut saya, tidak mungkin terjadi konflik “SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang begitu hebat di Tanjung Balai, Sumatera Utara, jika tidak ada prolog yang membuat masyarakat Islam tidak suka, benci, anti dan marah terhadap etnik Tionghoa (Cina).
Apa Akar Masalah
Setiap terjadi konflik yang bernuansa “SARA”, pemerintah dan aparat tidak pernah berusaha mencari akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya konflik dan memecahkannya. Semua berkonsentrasi menghentikan konflik dan mencari pelaku yang memicu terjadinya konflik dan menghukumnya pelakunya.
Konsekuensinya, timbul persepsi di masyarakat bahwa aparat selalu melindungi kelompok minoritas yang dijadikan sasaran amuk massa.
Oleh karena itu, dalam menangani kasus konflik “SARA” di Tanjung Balai, Suamtera Utara, sebaiknya pemerintah dan aparat, setelah berhasil menghentikan berlanjutnya konflik tersebut, juga mencari akar permasalahan terjadinya konflik dan berusaha memecahkan akar permasalahan timbulnya konflik "SARA" tersebut.
Dalam rangka itu, saya mencoba mencari dan berusaha menggali akar permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya konflik “SARA” di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Ditingkjat domestik dan lokal, ada masalah serius yang dirasakan masyarakat sebagai ketidak-adilan.
Pertama, kesenjangan sosial ekonomi. Sudah menjadi realitas bahwa ekonomi dikuasai etnik Tionghoa (Cina). Mereka makin lama semakin kaya karena aparat dan kepala daerah bekerja sama dengan mereka. Ini terjadi karena dalam setiap pemilihan kepala daerah (pilkada), mereka terlibat menjadi cukong kepada setiap calon yang bertarung dalam pilkada, sehingga siapapun yang menang dalam pilkada, mereka sudah investasi terlebih dahulu sebagai penyandang dana dan kepala daerah yang terpilih otomatis merasa berhutang budi kepada mereka. Dampaknya, kepala daerah bekerjasama dengan mereka, Kondisi semacam itu, menyebabkan kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar dan masyarakat kemudian marah, benci dan anti terhadap mereka yang kebetulan dari etnik Cina (Tionghoa).
Kedua, tumbuh arogansi di kalangan mereka terhadap masyarakat pribumi. Ini penyakit orang kaya yang dilindungi oleh aparat. Mereka tidak lagi sensitive - menyaring kata dan kalimat kalau berbicara, sehingga masyarakat memendam kebencian dan kemarahan terhadap mereka. Kasus Ibu Herlina, yang marah dan menegur muazzin (orang yang azan- dalam rangka memanggil untuk shalat) dengan menggunakan pengeras suara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, segera direspon dengan melampiaskan kemarahan dan kebencian yang sudah lama dipendam dengan membakar Vihara dan Kelenteng yang menjadi tempat beribadah orang-orang Cina (Tionghoa).
Ketiga, persepsi masyarakat terhadap mereka menjadi sangat negatif karena setiap terjadi masalah, aparat selalu memihak kepada mereka. Kondisi semacam ini menyebabkan muncul teroris dan aparat menjadi target untuk melampiaskan kemarahan, kebencian dan dendam.