Ilustrasi - Petronela Kenjam (kiri) dan Meliana Eba (kanan) dua orang guru SMK Kristen Huetalan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, sedang mengajar di ruang kelas yang darurat. (Kompas.com/Sigiranus Marutho Bere)
Pada tanggal 05 Januari 2016, saya ke kantor Menko Maritim dan Sumber Daya RI untuk menyampaikan surat permohonan kata sambutan Dr Rizal Ramli yang akan dimuat dalam buku saya bertajuk “Bersama Rakyat Bangun Indonesia”.
Diruang tunggu saya bertemu Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI. Kami berkenalan di dunia maya sekitar tahun 2012. Dia pernah menolong saya dengan menulis kasus yang dituduhkan kepada saya ketika dijadikan tersangka mencemarkan nama baik, lantaran menulis di blog saya tentang dugaan korupsi disebuah SMA ternama, di mana saya menjadi ketua komite.Dia mengatakan banyak mengikuti pandangan saya yang dipublikasikan media elektronik (TV), media cetak (koran) dan online.
Kami berbincang tentang Indonesia hari ini dan di masa depan. Satu hal yang amat menarik dari perbincangan itu, Wilson mengatakan kepada saya “hanya pendidikan” yang bisa membawa Indonesia maju.
Pernyataan tersebut sangat menarik bagi saya karena sudah puluhan tahun saya berpandangan hal yang sama. Wilson melanjutkan pembicaraannya bahwa “Indonesia boleh berutang dalam jumlah besar, tetapi untuk membiayai pendidikan”.
Pengalaman Hidup
Wilson Lalengke yang lahir dipedalaman Sulawesi Tengah dari seorang ayah dan ibu berprofesi petani, sangat menghayati pentingnya pendidikan. Pendidikanlah yang merubah nasibnya dari seorang anak petani miskin menjadi seorang ilmuan yang mengenyam pendidikan di Utrecht University – Netherlands, dengan meraih gelar Master of Art (M.A.) dalam bidang Applied Ethics (Etika Terapan). Setahun sebelumnya ia juga telah meraih gelar Master of Science (M.Sc.) dari The University of Birmingham - England dalam bidang Global Ethics (Etika Global).
Perjalanan hidup Wilson hampir mirip dengan perjalanan hidup saya. Saya dilahirkan dipesisir pantai di Sulawesi Tenggara sebagai anak nelayan.
Puluhan tahun saya meninggalkan kampung halaman, nasib para nelayan tidak berubah, tetap bodoh, miskin dan terkebelakang.
Dari pengalaman hidup yang dialami Wilson dan yang saya alami, akhirnya melahirkan suatu keyakinan bahwa membangun Indonesia harus melalui pendidikan.
Kenyataan menunjukkan bahwa selama 32 tahun lamanya Indonesia membangun di era Orde Baru, yang dilanjutkan selama 17 tahun di era Orde Reformasi, nasib bangsa Indonesia belum banyak berubah.
Buktinya, jumlah penduduk miskin masih sekitar 28 juta jiwa. Jumlah tersebut bisa berlipat ganda jika batas garis kemiskinan dinaikkan menjadi 2 dolar Amerika Serikat sesuai standar Bank Dunia. Pada hal berpenghasilan 2 dolar perhari atau sekitar Rp 28.000/hari masih jauh dari cukup untuk hidup layak.