Sebagai sosiolog, saya memberi apresiasi yang tinggi kepada Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar karena menjadi motor utama untuk menyelenggarakan Munas guna menyelamatkan Partai Golkar dari kehancuran.
Setidaknya ada lima alasan, saya memberi apresiasi yang tinggi kepada Aburizal Bakrie yang sering disapa ARB atau Ical.
Pertama, bersikap legowo, yaitu bisa menerima apa yang berlaku pada dirinya dengan sabar, ikhas dan pasrah. Tidak banyak tokoh yang mau legowo di era sekarang, apalagi sebagai Ketua Umum partai politik pemenang kedua dalam pemilihan umum tahun 2014 yang secara de facto dan de yure adalah ketua umum Partai Golkar yang sah dan legimate.
Kedua, mementingkan persatuan. ARB kalau mau ngotot bisa tetap menjadi ketua umum Partai Golkar sampai periode kepengurusan Partai Golkar berakhir berdasarkan hasil Munas di Bali, tetapi demi persatuan dikalangan seluruh kader partai Golkar, bersedia menanggalkan ego dan kepentingan pribadi dan pendukungnya.
Ketiga, memahami realitas politik bahwa demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan Partai Golkar, bangsa dan negara, ARB menginisiasi, mendorong dan menjadi penggerak utama (prime mover) untuk mewujudkan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar demi mengakhiri kekisruhan yang diciptakan.
Keempat, membuka peluang munculnya pemimpin baru di Partai Golkar, karena ARB tidak mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas Partai Golkar pertengah tahun 2016.
Kelima, telah berkorban segalanya demi eksistensi, persatuan dan kesatuan Partai Golkar. Sebagai manusia biasa tentu ada kelemahan dan kekurangan ARB dalam memimpin Partai Golkar, tetapi ditengah turbulensi politik, Partai Golkar tetap menjadi pemain penting dan utama dalam perpolitikan di Indonesia, walaupun secara formal berada di luar kekuasaan.
Cegah dan Hentikan Politik Uang
Dalam buku saya yang berjudul “Korupsi di Era Demokrasi” terbitan 2013, halaman 39, saya menulis sub judul “money politic pemilihan ketua partai politik”.
Saya mengutip secara lengkap dari halaman 40 dalam buku tersebut “berdasarkan kebiasaan dalam pemilihan ketua umum partai politik, yang dominan menentukan terpilih tidaknya seorang calon, ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor kedekatan (hubungan) baik dengan pengurus cabang dan wilayah, serta faktor uang. Seorang calon ketua umum partai politik, walaupun memiliki banyak keunggulan, namun belum cukup”.
Selanjutnya saya kemukakakn “Untuk memperoleh sokongan suara yang luas dari seluruh daerah di Indonesia, tidak cukup dengan kriteria hubungan baik, kepopuleran seorang calon, kedudukan tinggi seorang calon, dan sejumlah keunggulan yang dimiliki. Faktor yang dominan sekarang ini ialah sokongan dana. Siapa yang memenuhi kriteria yang disebutkan di atas, kemudian disokong oleh dana yang cukup, maka ia memiliki peluang yang besar untuk meraih kemenangan dalam pemilihan ketua umum partai politik”.
Selain itu, saya juga menulis contoh pemilihan ketua umum partai politik yang saat itu banyak menarik perhatian masyarakat luas ialah pemilihan ketua umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Nusa Dua Bali, akhir Desember 2014. Diluar hotel tempat dilaksanakan Munas, dipasang spanduk besar yang bertuliskan “Uang bisa membeli segala-galanya kecuali hati nurani”. Pesan serupa diselipkan dibawah pintu hotel tempat menginap para peserta Munas, dan pamfhlet semacam itu juga disebar di arela Bali Convention Center, lokasi forum tertinggi partai itu digelar, tanpa tercantum nama atau alamat sang pemberi pesan.