Hari ini, 29 Agustus 2016, saya mengajak kita mengenang Nurcholish Madjid, seorang pemikir Islam, cendekiawan terkemuka dan budayawan Indonesia, yang meninggal 29 Agustus 2006, 11 tahun yang lalu.
Nurcholish Madjid yang popular dengan panggilan Cak Nur, lahir di Jombang 17 Maret 1939, dan meninggal dalam usia 66 tahun.
Cak Nur mengikuti jenjang pendidikan di Pesantren Gontor, Jawa Timur, kemudian melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta yang sekarang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pendidikan Ph.D diraih di University of Chicago, Amerika Serikat, tahun 1984.
Di masa mahasiswa, Cak Nur menjadi seorang aktivis dan dipilih menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode tahun 1967-1969 dan 1969-1971. Dia merupakan satu-satunya kader HMI yang memegang jabatan ketua umum selama dua periode.
Di masa menjadi Ketua Umum HMI, Cak Nur mulai mengemukakan berbagai pemikiran yang dinilai pada saat itu sebagai gagasan sekularisme yang memisahkan antara Islam dan negara. Apalagi ada gagasannya yang kontroversial “Islam Yes Partai Islam No”.
Akan tetapi, dia terus bergerak mengembangkan pemikirannya sehingga banyak sekali kaum muda yang tertarik dan menerima pemikirannya.
Pemikiran Cak Nur
Gelombang pemikiran Islam kontemporer digaungkan Cak Nur. Dalam pandangan Cak Nur bahwa pembaruan harus dimulai, pertama, melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional yang mengakibatkan umat Islam Indonesia mengalami kejumudan, sehingga kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangan.
Kedua, kembali ke dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
Pembaruan dalam pemikiran Islam harus selalu dikaitkan secara historis-kritis dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Tanpa mengaitkannya menurut Cak Nur, maka tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final.
Umat Islam menurut Cak Nur harus selalu berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam (al-Qur’an dan Sunnah) sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaruan, melalui upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai dengan zaman dan tidak usang tertutupi perkembangan.
Pemikiran Cak Nur banyak ditentang oleh para tokoh Islam di masa itu, tetapi bak anjing menggonggong kafilah lalu. Pemikirannya terus digulirkan, yang sekarang ini semakin banyak yang mengikutinya, tetapi kemiskinan, dan kebodohan yang masih banyak dialami bangsa Indonesia, menyebabkan pemikirannya baru terbatas di kalangan cendekiawan dan kelas menengah, sehingga belum bisa mengubab Indonesia menjadi negara modern, maju dan sejahtera.
Keindonesian dan Reformasi
Pemikiran keislaman Cak Nur selalu dikaitkan dengan keindonesian Dia merumuskan tentang nilai-nilai Islam yang melekat pada bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia mempunyai nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila. Pancasila merupakan pengejawantahan dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Ia merupakan nilai-nilai luhur yang amat cocok dengan bangsa Indonesia, namun sebagai ideologi bangsa, tidak relevan jika Pancasila ditafsikan sekali untuk selamanya.
Menurut Cak Nur, Pancasila sebagai acuan bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai luhur yang mencakup kebinekaan Indonesia dan menjadi pemersatu bangsa ini. Seluruh aktivitas seharusnya mengarah pada suatu konvergensi nasional dengan penuh optimistik. Konvergensi ini adalah sautu hasil bentuk saling pengertian dan berakar dalam semangat kesediaan untuk memberi dan menerima.
Hal yang menarik dalam interpretasi Cak Nur tentang sila pertama yaitu bahwa sila tersebut seharusnya bukan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, melainkan “Taqwa dan Ridla Tuhan” sebagai semangat keislaman. Namun, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan tentang kepermanenan itu, hanya saja, dalam penafsirannya lebih mengena dengan tafsiran taqwa dan ridla Tuhan.
Terakhir, yang tidak boleh dilupakan adalah jasa Cak Nur dalam reformasi, yang dengan tegas dan berani berkata kepada Presiden Soeharto supaya mengundurkan diri sebagai Presiden RI untuk menghindari gejolak politik yang parah, ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998.
Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya dan terhindarlah bangsa Indonesia dari perpecahan dan pertumpahan darah.
Akan tetapi, kalau Cak Nur masih hidup, maka akan menangisi hasil reformasi yang belum bisa menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Allahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H