Puasa Ramadhan hari ke-27 hari ini, saya di wawancara RCTI dan MNC Media tentang fenomena “mudik”. Seperti biasa, kalau saya diwawancara dua atau tiga media, saya selalu berusaha tidak mengulangi apa yang saya kemukakan di satu media dengan media lain. Walaupun pertanyaan yang dikemukakan sama karena topik yang dibahas adalah sama seperti wawancara saya hari ini yang membahas “mudik”.
Tulisan ini, untuk melengkapi dua wawancara saya di RCTI dan MNC Media, semoga memberi pengetahuan kita mengapa mudik tidak bisa dibendung, dan seolah tidak ada pengaruhnya untukmengurangi animo mudik dengan munculnya media internet dan media sosial.
Mudik berasal dari bahasa Jawa yaitu mulihdilik yang berarti pulang sebentar. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang telah menjadi budaya – pulang kampung sebentar yang dilakukan menjelang hari raya besar keagamaan seperti Lebaran Idul Fitri.
Mudik merupakan fenomena sosial yang amat kolosal, karena kembali ke kampung halaman secara besar-besaran dalam waktu yang bersamaan – menjelang lebaran Idul Fitri.
Karena mudik bersifat kolosal yaitu luar biasa ramainya yang pulang kampung, maka banyak hal yang tidak nyaman selama mudik.
Pertanyaannya, mengapa tidak kapok mudik menjelang lebaran Idul Fitri? Pada hal mudik banyak pengorbanan yang dilakukan.
Sejumlah pengorbanan yang dialami para pemudik sebelum tiba di kampung halaman.
Pertama, banyak mengeluarkan dana. Tiket pesawat, kereat api, kapal laut dan bus, bisa naik berlipat kali dari keadaan normal.
Kedua, calon penumpang pesawat, kereta api, kapal laut dan bus berdesak-desak di bandara, di terminal kereta api, terminal pemberangkatan kapal laut dan terminal bus.
Ketiga, macet dalam perjalanan mudik terutama yang melalui darat.
Keempat, sangat melelahkan karena sedang berpuasa, sementara perjalanan mudik tidak nyawan.