Harian Kompas hari ini (5/2/2016), menurunkan berita utama dengan tajuk “Ketimpangan di Kota Melonjak”. Bukti ketimpangan ditunjukkan dengan kenaikan rasio gini perkotaan dari 0,43 pada September 2014 menjadi 0,47 per September 2015.
Rasio gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara keseluruhan yang angkanya berkisar 0 hingga 1. Angka 0 berarti pemerataan yang sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna.
Rasio Gini 0,47 sudah lampu kuning bahkan sudah mendekati lampu merah. Dalam tulisan saya kemarin di Kompasiana (4/2/2016) bertajuk “Pilgub DKI 2017 Bakal “Seru”, Cegah Kerawanan Sosial”, saya kemukakan bahwa ketimpangan di DKI sangat berbahaya.
Momentum pemilihan Gubernur DKI bisa dimanfaatkan oleh mereka yang ingin merebut DKI 1 untuk menggerakkan orang-orang miskin untuk melakukan “intifadah”, yang dalam Bahasa Arab diartikan “perlawanan” untuk melakukan perubahan. Kalau rakyat jelata yang melakukan perlawanan, biasanya dengan kekerasan. Apalagi ketimpangan berkaitan erat dengan perasaan ketidak-adilan.
Mission Impossible
Mengurangi apalagi menghilangkan ketimpangan ekonomi merupakan “mission impossible” jika tidak dipecahkan akar masalahnya.
Menurut saya, akar masalah terjadinya ketimpangan adalah “kebodohan”. Mereka yang mengalami ketimpangan ekonomi adalah rakyat jelata yang tidak pernah memperoleh akses pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Pendidikan gratis telah diwujudkan pemerintah di setiap kabupaten-kota dan provinsi, tetapi mereka yang bisa mengakses pendidikan gratis adalah anak-anak dari kalangan menengah ke atas.
Pada tingkatan pendidikan sekolah dasar, hampir semua warga negara yang miskin, kelas menengah dan atas bisa memperolehnya. Akan tetapi, ketika tamat sekolah dasar, anak-anak miskin sudah mulai mengalami kesulitan untuk masuk sekolah menengah pertama, apalagi sekolah menengah atas, terlebih-lebih masuk di perguruan tinggi negeri. Mereka tidak sanggup bersaing dengan anak-anak dari kelas menengah dan kelas atas karena nilai-nilai ujian sekolah dan ujian nasional mereka rendah.
Oleh karena itu, mayoritas anak-anak miskin hanya bisa sekolah di swasta atau tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Sebagai contoh paling aktual, Kementerian Ristek dan Dikti RI untuk tahun ajaran 2016 menetapkan bahwa anak-anak miskin harus diterima masuk di perguruan tinggi negeri (PTN) 30 persen.
Pada hal, jumlah masyarakat menengah ke bawah, sekitar 80 persen dari total penduduk Indonesia. Kalau mau adil dan ingin sungguh-sungguh mengurangi ketimpangan ekonomi, harus dimulai dari pendidikan.
Pembangunan ekonomi amat diperlukan, tetapi membangun ekonomi ditengah mayoritas rakyat yang tidak berpendidikan memadai dan tidak memiliki kepakaran, hanya semakin menciptakan ketimpangan.
Pernyataannya, apa yang harus dilakukan pemerintah? Menurut saya, ciptakan sistem pendidikan yang adil dengan memihak dan memberi keistimewaan kepada anak-anak rakyat jelata yang mayoritas miskin. Anak-anak miskin harus memperoleh special treatment dan affirmative action untuk memperoleh pendidikan gratis dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan beasiswa penuh dari pemerintah.
Sementara anak-anak dari kelas menengah dan kelas atas, harus tetap membayar biaya pendidikan, tidak perlu mereka diberi pendidikan gratis. Dengan demikian, bisa diwujudkan subsidi silang yaitu anak-anak orang kaya dan pemerintah menyubsidi pendidikan anak-anak rakyat jelata.
Menurut saya, ketimpangan ekonomi hanya bisa diatasi secara permanen melalui pendidikan formal, informal dan pendidikan kepakaran (keahlian) bukan dengan yang lain.
Allahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H