Jika merujuk hasil penelitian tersebut, maka masyarakat DKI Jakarta lebih bersifat ritual dan akhlak, tidak ideologis. Kalau tidak ideologis, berarti masyarakat DKI Jakarta toleran, tidak ekstrem, tidak radikal dan tidak pula punya potensi untuk melakukan tindak terorisme.
Hubungan Islam, Negara dan Politik
Menurut Qaimoeddien Tamsy bahwa hubungan Islam, negara dan politik, sudah tidak ada masalah. Pandangan serupa dikemukakan oleh Selamat Nurdin, bahwa konsekuensi logis dari kondisi keberagamaan masyarakat DKI Jakarta yang tidak bersifat ideologis, maka mereka tidak mempersoalkan hubungan Islam dengan negara dan politik termasuk demokrasi, masyarakat DKI Jakarta menerima dengan baik.
Kalau PKS menjadikan Islam sebagai asas partai, lebih bersifat internal sebagai sumber inspirasi dan dorongan untuk mengukuhkan soliditas dan kekuatan dalam membangun bangsa secara bersama-sama. Kalau sudah masuk ke tataran kekuasaan, maka landasan berpijak adalah Pancasila. Pendapat serupa dikemukakan Hasbiallah Ilyas, Anggota DPRD DK Jakarta dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang juga menjadi responden dalam penelitian ini. Menurut dia, pemisahan agama dan negara mutlak dilakukan, agar masing-masing berjalan sesuai fungsi masing masing. Ulama jangan berpolitik, harus lebih banyak turun ke umat untuk memandu dan mengayomi.
Akan tetapi, menurut Ahmad Syafi’i Mufid bahwa hubungan Islam, negara dan politik masih belum selesai sepenuhnya. Akibat di masa Orde Baru, aspirasi Islam tidak diakomodir. Di masa Orde Reformasi, Pemerintah seharusnya menegakkan hukum, tetapi dalam realitas, hukum masih memble. Oleh karena itu, sebagian berpendapat bahwa jalan satu-satunya adalah penerapan syariat Islam, yang diwujudkan dalam Negara Republik Indonesia.
Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menang pemilu parlemen di DKI Jakarta , tetapi menurut Ahmad Syafi’i Mufid ada instruksi politik. Sejak itu banyak terjadi peristiwa politik termasuk peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok tahun 1984. Berbagai peristiwa yang terjadi setelah pemilu 1978, termasuk peristiwa kerusuhan Tanjung Priok, menyebabkan umat Islam merasa dimarjinalkan.
Menurut Ahmad Syafi’i Mufid, setelah Soeharto berhenti sebagai Presiden RI 21 Mei 1998, BJ Habibie tampil memimpin Indonesia, umat Islam yang merasa termarjinalisasi di masa Orde Baru mendapatkan momentum untuk bangkit memformalkan Piagam Jakarta. Tetapi melalui jalan demokrasi, tidak berhasil karena hasil pemilu 1999, partai-partai Islam tidak mendapat dukungan suara yang signifikan.
Pandangan yang kurang lebih sama yaitu dari Mayjen TNI Purn. Eddie M. Nalapraya bahwa hubungan Islam, negara dan politik masih ada masalah. Dia mengemukakan bahwa Umat Islam sudah terlalu banyak mengalah. Mereka mengalah tetapi tidak banyak mendapat manfaat dalam pembangunan. Itu sebabnya banyak yang marah dan menjadi ekstrem dan radikal.
Penyebab Radikalisme dan Terorisme
Habib Salim Umar al Attas, Ketua Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta, yang juga menjadi responden dalam penelitian ini menolak kategorisasi yang menyebut umat Islam termasuk FPI disebut ekstrem, radikal apalagi teroris.
Para responden yang diwawancara, terbagi empat pandangan dalam melihat penyebab radikalisme dan terorisme.
Pertama, radikalime dan terorisme bersumber dari pandangan ideologis.
Kedua, masalah radikalime dan terorisme disebabkan ketidakadilan dalam segala bidang terutama ekonomi.
Ketiga, radikalisme dan terorisme merupakan gabungan dari persoalan ideologi, ekonomi, sosial, politik dan pemberitaan media.