Dalam Workshop yang dilaksanakan Kesbangpol Jakarta Selatan (13 Mei 2014) dengan peserta dari penyelenggara pemilu di tingkat kelurahan, kecamatan dan kota se Jakarta Selatan , saya menyampaikan makalah bertajuk "Budaya Demokrasi, Kecurangan Pileg dan Harapan Pilpres 2014".
Dalam dialog dan tanya jawab, seorang peserta dari PPK (Panitia Penyelenggara Kecamatan) mengemukakan pandangan bahwa dalam pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014 bakal lebih masif (massive) politik uang karena dilaksanakan pada bulan ramadan (bulan puasa).
Dalam merespon berbagai pertanyaan dan pernyataan dari peserta, saya mengemukakan pentingnya mencegah dan menghentikan berlanjutnya politik uang dalam pemilihan presiden.
Pernyataan itu tidak mudah diwujudkan. Pertama, rakyat butuh uang. Pemilihan umum (pemilu) telah dijadikan sarana bagi rakyat jelata untuk mendapatkan uang. Kalau tidak diberi uang dan sembako, lebih baik tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Kedua, penyelenggara pemilu honornya sangat minim hanya sekitar Rp 450.000/bulan, sehingga beberapa penyelenggara pemilu mengungkapkan keprihatinan mereka karena bagaikan kerja rodi. Pada hal di berbagai daerah, penyelenggara pemilu banyak diisi para sarjana yang masih menganggur.
Oleh karena itu, mereka memanfaatkan kedudukan sebagai penyelenggara pemilu dengan aktif menghubungi para caleg tajir untuk menawarkan suara, mulai dari Rp 50.000/suara, paling rendah tawarannya Rp 20.000/suara. Para penyelenggara pemilu yang rata-rata masih muda, ada yang aktif dan ada pula yang pasif-menunggu para caleg tajir atau tim suksesnya menghubungi mereka untuk bernegosiasi, berapa jumlah suara yang diperlukan untuk duduk di DPRD, DPD dan DPR RI dan berapa harga satu suara.
Pilpres di Bulan Ramadan
Semula saya berpandangan bahwa pemilihan presiden (pilpres) yang bakal dilaksanakan di bulan Ramadan, di saat mayoritas bangsa Indonesia melaksanakan ibadah puasa, politik uang dalam pilpres bakal berkurang bahkan tidak ada.
Akan tetapi, menurut salah seorang penyelenggara pemilu di PPK Jakarta Selatan mengatakan bahwa politik uang, bisa lebih dahsyat dan lebih masif (massive) di bulan puasa. Pertama, dalam bulan puasa, apalagi menjelang lebaran, semua jenis barang apalagi sembako meningkat harga berlipat ganda, sehingga kebutuhan pengeluaran juga meningkat luar biasa. Pemilihan presiden (pilpres), bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan uang, samada penyelenggara pemilu maupun rakyat jelata yang miskin dan mau lebaran.
Kedua, tradisi mudik yang telah menjadi budaya tahunan, menjadi alasan kuat untuk menjadikan pilpres sebagai momentum untuk mendapatkan uang untuk mudik lebaran, samada rakyat jelata yang menjadi pemilih maupun penyelenggara pemilu.
Ketiga, masyarakat Indonesia termasuk para pemimpin berbagai kelompok di masyarakat dan tokoh agama, berpandangan, bersikap dan berprilaku permisif (serba membolehkan) menerima pemberian uang, hadiah dan apapun juga tanpa melihat motif (tujuan) dan asal-usul dari uang atau hadiah yang diterima.