Beberapa waktu lalu, publik pernah dihebohkan tentang rekening gendut polisi. Media memberitakan isu tersebut, tetapi kemudian lenyap tanpa ketahuan rimbanya.
Kini muncul isu baru “rekening gendut kepala daerah”. Muhammad Yusuf, Kepala Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dalam Talk Show di Berita Satu (13/12/2014) mengungkapkan telah bertemu Jaksa Agung yang baru (11/12/2014) untuk memperbaharui laporan hasil penelusuran PPATK tentang dugaan rekening gendut kepala daerah yang pernah diserahkan tahun 2012.
Setidaknya terdapat 10 rekening gendut kepala daerah, 8 diantaranya ditangani Kejaksaan Agung RI. Akan tetapi, sudah berlalu 2 tahun sejak PPATK menyerahkan hasil penelusuran dugaan rekening gendut kepala daerah, belum ada hasilnya.
Yang sudah ada hasil, kasus rekening gendut kepala daerah yang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Fuad Amin Imron, mantan Bupati Bangkalan merupakan salah satu pemilik rekening gendut kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan sudah ditahan KPK beberapa hari lalu.
Dalam rangka kontribusi terhadap pemberantasan korupsi, saya menulis kasus rekening gendut kepala daerah, dengan harapan ikut mendorong percepatan pengusutannya dan tidak mengalami nasib seperti dugaan rekening gendut polisi.
Modus Korupsi
Modus korupsi yang dilakukan kepala daerah atau pejabat publik melalui transaksi antar bank dengan menerima transfer sejumlah dana ke rekening pejabat yang bersangkutan, sangat mudah dilacak oleh PPATK.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan jejak dari pelacakan PPATK, para pejabat (eksekutif, legislatif dan yudikatif) hanya mau melalui transaksi tunai. Penyogok langsung datang ke rumah, kantor atau bertemu di suatu tempat, lalu menyerahkan dana secara tunai (kontan).
Cara terrsebut masih bisa dilacak PPATK, jika dana yang diterima dari hasil korupsi disetor ke bank dengan nama yang bersangkutan, nama isteri, anak, sopir, sanak famili, atau perusahaan, seperti yang dilakukan terhadap Fuad Amin Imron.
Sejatinya ada undang-undang yang melarang transaksi tunai dalam jumlah besar, yang dimulai dengan pembatasan penarikan uang tunai dalam jumlah besar.
Selama ini instansi pemerintah dan swasta masih banyak yang menarik dana tunai dalam jumlah besar dengan berbagai alasan misalnya untuk membayar gaji.
Di Pemprov. DKI Jakarta misalnya, sudah menerapkan sistem pembayaran segala macam jenis keperluan termasuk untuk membayar sewa hotel melalui transfer antar bank.
Kebijakan semacam itu, penting diberi landasan hukum dengan membuat UU Pembatasan Transaksi Tunai.
Transaksi tidak langsung, memberi manfaat yang banyak bagi pihak-pihak yang melaksanakan transaksi. Pertama, terhindar dari kemungkinan perampokan sebagaimana yang sering terjadi selama ini.
Kedua, menghapus biaya pengeluaran pada saat mengawal pengambilan uang di bank dalam jumlah besar.
Ketiga, memberi kemudahan kepada instansi pemerintah, swasta dan pegawai karena secara otomatis, pihak bank yang akan membayar gaji pegawai misalnya, langsung dibayar melalui debit dari dana instansi atau swasta yang bersangkutan.
Keempat, mencegah terjadinya rasuah, karena modus yang banyak dilakukan para koruptor ialah transaksi tunai.
10 Modus Cuci Uang Hasil Korupsi
Para koruptor banyak akal untuk mencuci uang dari hasil korupsi yang dilakukan. Setidaknya terdapat 10 modus cuci uang hasil korupsi.
Pertama, membeli aset bergerak dan tidak bergerak.
Kedua,membeli saham atau surat bergarga lainnya.
Ketiga, bermain di pasar modal di negara lain atas nama orang lain
Keempat, penjualan MLM dengan cara memakai sistem jaringan viral.
Kelima, menggunakan badan amal seperti yayasan
Keenam, menggunakan rekening atas nama orang lain.
Ketujuh, menggunakan akad perjanjian kredit atau sejenisnya.
Kedelapan, membeli lotere atau undian seolah-olah manang besar dari hasil undian.
Kesembilan, menggunakan media kartu kredit yang banyak untuk mencuci uang hasil korupsi.
Kesepuluh, melalui perkawinan antar bangsa, dana hasil korupsi disimpan di negara lain.
Allahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H