Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan yang mendasari. Pertama, saat ini kita semua sedang bersedih dan berduka akibat jatuhnya pesawat AirAsia yang menimbulkan korban nyawa yang besar. Wujud kita berduka, sebaiknya tidak melakukan pesta pora perayaan tahun baru, karena pesta merupakan antitesa dari kesedihan dan kedukaan.
Kedua, sepatutnya kita berempati atas korban pesawat AirAsia yang begitu banyak.
Manifestasinya, kita merayakan tahun baru dengan memanjatkan doa kepada seluruh korban.
Ketiga, pemerintah sebaiknya membatalkan perayaan tahun baru, sebagai bentuk kita bersedih dan berempati terhadap jatuhnya pesawat AirAsia yang merenggut nyawa semua penumpang.
Keempat, momentum jatuhnya pesawat AirAsia, hendaknya dijadikan pelajaran bahwa hidup ini harus diisi dengan hal-hal yang baik, karena kita tidak tahu berapa lama usia kita. Sementara perayaan tahun baru, identik dengan hura-hura, mengumbar nafsu dan sering menimbulkan korban nyawa dalam merayakan tahun baru.
Kelima, perayaan tahun baru jangan dijadikan budaya karena bukan budaya bangsa Indonesia. Maka perayaan tahun baru kali ini yang hampir bersamaan terjadinya musibah jatuhnya pesawat AirAsia disederhanakan, akan lebih baik jika ditiadakan dan diganti dengan doa dan ceramah agama di masjid, di gereja, di pura, di klenteng dan diberbagai tempat.
Itu lebih baik dalam rangka revolusi mental.
Allahu a’lam bisshawab