Tanpa maksud beranekdot di atas ide yang terpancing bersebab asap bakaran hutan Indonesia yang berhembus hingga ke negara tetangga sepekan terakhir, saya ingin mengatakan bahwa dalam konteks persaudaraan antar-bangsa mungkin cerita ini tabu untuk dirilis di media massa. Tapi apa boleh buat, dasar ide sudah begitu liar mengetuk-ngetuk dinding khayali untuk segera direalisasi sekaligus untuk berbagi. Ya, apa boleh buat.
Sebagaimana kita tahu, Malaysia, sebagai bekas negeri jajahan Inggris, ianya sangat dekat dengan Britania Raya itu, baik secara bilateral maupun emosional. Sedangkan Indonesia dan Malaysia, walau serumpun, namun di bawah permukaan terdapat sedikit clash secara emosional bersebab klaim-klaiman batas wilayah dan hak kepemilikan atas sejumlah karya seni dan budaya.
Alkisah suatu ketika ajang festival lagu-lagu dunia diadakan di Inggris. Saat itu acara sudah berlangsung seminggu. Setiap rombongan musisi dari sejumlah negara sudah mengeksibisi lagu khas mereka masing-masing. Malam itu hanya tersisa beberapa negara lagi. Dan panitia melanjutkan panggilannya, “Sekarang kelompok musisi dari Amerika.” Lalu sekelompok musisi dari Amerika naik ke panggung, membawakan lagu jazz, dan para hadirin yang terdiri dari penonton manca negara bertepuk tangan.
Selanjutnya panitia penyelenggara berkata, “Sekarang kelompok musisi dari Spanyol.” Lalu sekelompok musisi dari Spanyol naik ke panggung, membawakan lagu latin, dan para hadirin yang terdiri dari penonton manca negara bertepuk tangan. Lalu panitia berkata lagi, “Sekarang kelompok musisi dari Arab.” Lalu sekelompok musisi dari Arab naik ke panggung, membawakan lagu Padang Pasir, dan para hadirin bertepuk tangan.
Lalu panitia berkata lagi, “Sekarang kelompok musisi dari Indonesia.” Lalu sekelompok musisi dari Indonesia naik ke panggung, membawakan lagu Melayu, tapi panitia segera protes, “Itu lagu Malaysia, bukan lagu Indonesia.” Rupanya saat festival hendak dimulai tempo hari, diam-diam Malaysia segera mengajukan klaim bahwa lagu Melayu adalah lagu khas mereka.
Sebenarnya dalam situasi terpaku di hadapan ribuan penonton yang termangu-mangu, musisi kita ingin membawakan lagu dangdut, tapi khawatir India akan protes. Dan dalam situasi darurat itu sebenarnya musisi kita juga ingin memainkan lagu Jawa, tapi tetap khawatir. Soalnya yang di Jawa sana jangankan lagu, batik pun sudah diklaim sebagai milik Malaysia.
Lalu tanpa kehilangan akal, dalam tempo sekejap para musisi kita segera memainkan kembali lagu Melayu tadi namun dengan tempo dan rentak gendang yang telah dirubah sehingga menjadi khas sebagai lagu Melayu Deli. Panitia tersentak tanpa bisa berkata apa-apa.
Dewan juri yang terdiri dari musisi-musisi internasional yang sangat professional dan independen dalam menilai menetapkan Indonesia sebagai juara pertama, terutama pada kecerdasan para musisinya yang mampu mengubah aransemen dalam hitungan menit dengan bakat inprovisasi yang luar biasa. Dan para hadirin yang terdiri dari penonton manca negara bertepuk tangan dan bersuit-suit hampir setengah jam lamanya. Ketika turun dari panggung, salah seorang musisi kita berbisik pada rombongan, “Untung ada Deli, kalau tidak hancurlah Melayu kita malam ini.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H