Dicengkram usia di atas 50 membuat kita sering merasa aneh sendiri. Kita mulai sering membayangkan kematian. Penyebabnya macam-macam: gerak tubuh yang tidak lagi gesit, rambut-jenggot-misai yang tak lagi semua hitam, kesukaan pada lawan jenis yang bukan lagi karena resam tubuh dan langgam wajah, kegandrungan pada makanan yang bukan lagi karena warna dan aroma. Dan lebih dari itu, sepak-terjang kita di dunia politik Nanggroe. Lebih-lebih ini mau Pemilu.
Aneh rasanya manusia tanpa keadaan memaksa namun sengaja menghentikan Accord-nya saat melintasi jalan yang diapit areal persawahan, menurunkan kaca mobil, membuka kacamata, khusus untuk menatap kaki langit sore hari buat membayang-bayangkan kematiannya. Kematian, itu adalah suatu hari di mana kita tak tahu apa-apa lagi apakah kita pernah ada dan setelah itu apakah kita sudah tiada.
Aneh rasanya ketika kita dengan lebainya bertanya pada hati, “Kalau memang wajib mati, kenapa pula harus hidup? Apa perlunya?” Memang kita bisa menjawab itu dengan asumsi-asumsi berdasarkan kitab suci, keyakinan pada kearifan spiritual yang telah membudaya, pola pikir mitologi bentukan tradisi dan segala model jawaban yang dibuat-buat hanya sekedar untuk menghentikan lasaknya pertanyaan demi pertanyaan yang meresahkan yang telah menjadi penyakit khas manusia, namun nun jauh di kedalaman akal-budi, diam-diam kita curiga, bahwa tak ada satu pun dari jawaban-jawaban itu yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ah, lebay sekali ketika kita berkata pada diri, “Siapa yang bisa memastikan kehidupan setelah mati jika semua yang sudah mati tak pernah kembali lagi ke dunia ini untuk sekedar mengabarkan bahwa di alam sana hidup kita begana dan begini, keadaan kita begana dan begini, nasib kita berdasarkan itu dan ini? Apakah semua yang pernah kita dengar di dunia ini tentang dunia setelah kematian itu adalah sesuatu yang pasti? Kalau ternyata tidak, bagaimana kita kembali ke dunia ini untuk berkata, ‘Semua nonsens belaka!’ Dan kalau ternyata iya, bagaimana kita kembali ke dunia ini untuk berkata bahwa, ‘Semua yang dikatakan itu benar adanya?’”
Ah, ini barangkali kegalauan orang yang hampir mati. Tapi itu samasekali tidak penting; kita hendak mati, siapa yang bisa mengantisipasi? Kita mau hidup sejuta tahun lagi, siapa yang bisa memercayai? Agaknya, bagi kita hanya satu yang penting; bahwa alam adalah benda mati yang menjadi bagian dari sebuah rangkaian system yang tak pernah mati, dan dia bekerja dengan lucu dan unik sekali; begitu ada manusia yang sudah menelan kesempatan hidup nyaris melebihi setengah abad, alam mulai sering membisikkan kabar kepulangan, melalui asam urat, darah tinggi, kolesterol, lambung yang resistan terhadap kopi, keinginan berkasih-sayang dengan sang ibu anak-anak namun hasrat hanya tinggal hasrat sedangkan tenaga telah berkarat, melalui gigi yang tanggal satu-satu, dan yang paling utama adalah melalui kiprah lima belas tahun di dunia politik Nanggroe di mana saat ini Pemilu sudah di depan mata, ya, melalui semua itu alam membisikkan kabar kepulangan, agar ketika kereta datang menjemput, sang calon penumpang tidak terperanjat dan salah tingkah.
Orang bilang, orang-orang yang pada suatu waktu tergerak tanpa sengaja hingga mengeksploitasi perasaannya terhadap kematian secara berlebih-lebihan, itu biasanya pertanda tak lama lagi dia akan mati. O, ya? Jadi, hmmm, siapa yang akan mati? Kita? Mati secara bersama-sama, siapa takut? Kalau bukan kita, jadi, siapa? Manusia itu buaya darat, ayam kena flu burung (manok keunong ta’eun), kuda nil berpenyakitan; ia paling tak suka membayangkan bahwa dirinya akan mati sendirian, ia begitu ringan membayangkan kematian jika mati itu adalah mati bersama-sama.
“Kali ini bukan seperti dalam konflik Aceh-Jakarta dan Tsunami.”
“Ha?! Siapa Anda?”
“Malaikat Maut…”
“Haaa?!”
“Iya!”