rakyat sebagai pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun, semakin hari, lentera kebebasan bersuara kian meredup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang lebih menekankan kontrol daripada keterbukaan. Dalam kondisi ini, tak pelak kita teringat pada karya-karya Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa dan penulis yang mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan suara kebenaran di tengah hegemoni kekuasaan. Gie, dalam buku hariannya dan karya-karya tulisnya, kerap kali mengkritik ketidakadilan serta korupsi yang merajalela. Lalu, di mana kita berdiri sekarang dalam hal kebebasan berekspresi? Apakah perjuangan Gie hanya menjadi cerita usang yang berakhir tanpa realisasi?
Indonesia pernah dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi semangat demokrasi, dengan suaraSoe Hok Gie adalah sosok yang begitu tegas dalam bersuara, seorang intelektual muda yang tidak gentar melawan ketidakadilan dan kebobrokan politik. Dalam berbagai tulisannya, seperti yang tertuang dalam "Catatan Seorang Demonstran," Gie dengan gamblang menyuarakan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia di era Orde Lama hingga Orde Baru. Bagi Gie, kejujuran adalah landasan moral yang harus dipegang teguh, meskipun hal itu berarti harus berdiri sendirian di tengah cemoohan dan ancaman. Ia percaya bahwa perubahan hanya bisa dicapai ketika rakyat memiliki kebebasan untuk berbicara tanpa takut dibungkam.
Namun, di balik semangatnya yang tak kenal lelah, Gie hidup di masa ketika lentera kebebasan bersuara kerap kali dihadang oleh dinding kekuasaan yang represif. Perjuangan Gie bukanlah tentang melawan individu, melainkan melawan sistem yang telah rusak, di mana kepentingan pribadi dan golongan menjadi prioritas utama di atas kepentingan rakyat. Di mata Gie, politik semestinya menjadi jalan untuk memperjuangkan kesejahteraan, bukan sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingan pribadi.
Kini, Apakah Lentera itu Telah Padam?
Setengah abad lebih telah berlalu sejak Gie menyuarakan keresahannya, namun bayang-bayang pengekangan atas kebebasan berpendapat masih terasa kental di negeri ini. Di era digital dan media sosial, kita mungkin mengira bahwa suara kita lebih bebas dan luas. Namun, kenyataannya, kebebasan ini sering kali hanya menjadi ilusi. Di balik layar, pemerintah, melalui berbagai instrumen hukum dan kebijakan, tetap memiliki kuasa untuk mengontrol, bahkan membungkam, mereka yang kritis terhadap kebijakan negara.
Kita telah melihat berbagai kasus di mana individu atau kelompok yang menyuarakan pendapat kritis harus berhadapan dengan intimidasi, persekusi, bahkan kriminalisasi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misalnya, yang awalnya bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan siber, sering kali disalahgunakan sebagai alat untuk menjerat mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah. Alih-alih berfungsi sebagai pelindung, hukum menjadi alat untuk menekan, menciptakan suasana ketakutan yang mengingatkan kita pada masa kelam ketika kebebasan bersuara adalah barang langka.
Apakah ini yang diperjuangkan oleh Soe Hok Gie? Di matanya, politik seharusnya menjadi medium untuk menjembatani aspirasi rakyat, bukan menjadi alat untuk membungkam mereka. Ketika kritik dianggap sebagai ancaman dan bukan sebagai bentuk partisipasi dalam demokrasi, kita kehilangan esensi dari pemerintahan yang seharusnya "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat."
Ketika lentera kebebasan bersuara meredup, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh individu yang dibungkam, tetapi juga oleh seluruh sistem demokrasi kita. Demokrasi yang sehat membutuhkan ruang untuk berdialog dan berdebat. Dalam negara yang mengaku demokratis, setiap warga negara seharusnya memiliki hak untuk mengkritik dan mengawasi jalannya pemerintahan tanpa takut terhadap intimidasi. Ketika kritik dianggap sebagai tindakan melawan negara, maka demokrasi hanya akan menjadi topeng dari pemerintahan otoriter yang enggan mendengar aspirasi rakyat.
Matinya kebebasan bersuara juga berpotensi melemahkan daya kritis generasi muda. Ketika anak muda melihat bagaimana mereka yang berani menyuarakan pendapat dikriminalisasi, muncul rasa takut yang pada akhirnya membunuh semangat kritis mereka. Hal ini akan melahirkan generasi yang apatis, yang memilih untuk diam karena takut berbicara, dan lambat laun, kita akan kehilangan agen-agen perubahan seperti Soe Hok Gie yang siap mengorbankan diri demi kebenaran.
Dalam konteks politik Indonesia saat ini, kebebasan bersuara seharusnya bukan hanya dihormati, tetapi juga dijaga dan dilindungi. Keterbukaan pemerintah terhadap kritik dan saran dari rakyat akan menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kita memerlukan pemimpin yang berani mendengar, bukan pemimpin yang merasa terancam oleh suara rakyat.
Menghidupkan kembali lentera kebebasan bersuara bukanlah tugas yang mudah, terutama ketika sistem sudah terbiasa dengan budaya represif. Namun, langkah pertama adalah dengan memperkuat regulasi yang melindungi kebebasan berpendapat. Revisi terhadap UU ITE, misalnya, bisa menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut tidak lagi digunakan sebagai alat pengekang kritik.