"kalau alam berpikir kita dikasih sedikit saja ruangnya untuk di sambungkan dengan hati nurani kita, sebenarnya kita dapat membaca, mengamati dan menghayati atau "Iqro dan Tafakur" dengan alam disekitar kita. dalam berbisnis di dunia perbankan Syariah, saya rasa perlu nih...untuk "Iqro" mengamati kondisi udang Jumbo dan ebi yang tanpa kita sadari walaupun sering menikmatinya, sebenarnya menyimpan filosofi hidup yang memukau hati nurani kita......"
Hmm..kalau iB dibacanya bukannya ai-Bi ya, mba?...bukan ei-Bi (=AB). Jadinya..ya ndak pas juga diplesetkan jadi ebi :PÂ Â Â Lebih dari itu,...kalao iB (ai-Bi) yang bank syariah disamaken dengan ebi (udang kering)...hmmm..rasanya koq malah mengurangi wibawa iB ya?..sebagai sebuah lembaga perbankan yang harusnya punya image kokoh..solid...kuat dalam menjaga kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Rasanya para bankers iB (ai-Bi) islamic bank juga ndak akan rela disamakan dengan ebi udang kering hehehe...
udah bagus pake ai-Bi aja ya mba....jangan dipleset2kan jadi ebi gitu...malah bikin masyarakat bingung. Supaya masyarakat lebih kenal iB,...imho lebih baek pake jingle iB aja..."ai-Biii..perbankan syariah...lebih dari..lebih dari sekedar bank.." :P (komentar Pak Janu)
kalau di baca kembali dalam artikel saya sebelumnya berjudul "Antara iB dibaca ei-bi dan ebi". saya mengulas sedikit filosofi kehidupan sang Udang Jumbo, Udang Jumbo Super dan Ebi.
kalau alam berpikir kita dikasih sedikit saja ruangnya untuk di sambungkan dengan hati nurani kita, sebenarnya kita dapat membaca, mengamati dan menghayati atau "Iqro dan Tafakur" dengan alam disekitar kita. kalau kita ke restoran seafood, menu makanan yang pertama kali kita lirik diantaranya udang (bagi yang doyan udang lho...), sambil menikmati lezatnya Udang Jumbo saus tiram, saya kok terusik ya dengan sesendok ebi yang saya nikmati tiga hari sebelumnya, yang di olah dengan oseng-oseng pare...."hemm...enak juga sih...". rasa keterusikan muncul tatkala membandingkan kondisi udang Jumbo yang sedang saya nikmati dengan nasib ebi yang saya santap sebelumnya, "kenapa dia jadi ebi....?, pertanyaan itu muncul dibenak saya. setelah diolah pertanyaan yang muncul itu....jawabannya saya tuangkan dalam artikel saya itu...."Antara ib dibaca ei-bi dan ebi", trus muncul komentar dari Pak Janu...
Pak Janu terimakasih komentarnya ya Pak...
ada historisnya lho Pak...
saya kesem-sem sendiri lihat segerombolan pelajar yang nyanyiin yel-yel ekonomi Syariah seusai acara Gebyar Ekonomi Syariah (GES) yang diadain di wisma Menpora beberapa bulan lalu, sampe-sampe liriknya saya hafal betul..."ekonomi...ekonomi...syariah...syariah...ribawi...ribawiii....sorry ah...sorry ahh....nah yang terakhir ini bikin saya tergelitik...eibiii...eibiii...Bank Indonesia....Bank Indonesia....lama kelamaan yang terdengar ebiii...ebiii..Bank...Indonesia...bank...Indonesia..." secara tata bahasa iB aturannya terbaca ai-bi itu sudah menjadi ketentuan, kalau lari ke eibi ya "aB dong"....hemmm boleh juga.... jadinya...."alih Bank dong"...ke syariah....sangking saya terkesannya sama semangat para pelajar se tingkat SMU itu, saya jadi kebawa-bawa dalam tulisan saya....
terkait dengan "ebi", inspirasi ini saya dapat dari konsennya saya mengkaji sektor UMKM di Indonesia dan sejauh mana keterlibatan Bank Syariah dalam menangani sektor UMKM (sebagai jawaban atas pertanyaan yang muncul saat saya menyantap udang saus tiram tentunya), dan istilah ebi yang saya uraikan dalam artikel saya itu bukan memberikan jargon kepada Bank Syariahnya, melainkan pada pengistilaan terhadap keadaan UMKM. sebenarnya itu sebuah kiasan menggambarkan kondisi konglomerat dan nasib UMKM yang ada di Indonesia yang membutuhkan perhatian lebih oleh Pemerintah terlebih Bank Syariah yang notabenenya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan...dan mengajak masyarakat untuk "legowo" dengan Bank Syariah biar UMKM lebih berkembang lagi.
nah...selama ini terjadinya krisis melanda di indonesiakan disebabkan oleh kurangnya perhatian industri keuangan terhadap sektor riil, sementara sentuhan langsung yang terkait dengan sektor riil, hampir 90%nya ada ditangan UMKM. nah para "udang-udang Jumbo" yang fokus perhatiaannya ke Bank Konvensional, apalagi di tambah dengan praktek derifatifnya....secara tidak langsung mengkerdilkan pertumbuhan sektor riil yang ada di Indonesia, terlebih nasib UMKM yang tersebar di pelosok tanah Air Indonesia.
secara logikanya, kalau udang-udang yang sudah jadi ebi itu dibiarkan tumbuh dan berkembang, tidak mustahil sang udang kecil-kecil itu jadi Udang Jumbo super, tapi karena sang udang jumbo terlalu berkuasa dan leluasa hidup dengan segala kenyamanan dan rasa aman puncak kepuasan meraup keuntungan, hingga ruang buat sang udang-udang kecil itu jadi terhambat, terhambat...lama kelamaan jadi kerdil dan mati deh...jadilah ia ebi, gimana ga mati wong di jerat dengan jaring beban yang berat, nah kalau dalam dunia ekonominya, lebih khususnya terjerat utang plus bunga lagi.....udah gitu sang udang-udang kecil itu harus bertarung menghadapi terik panasnya arus persaingan hidup, jadi deh dia ebi....