Kereta Berhantu
Malam itu, stasiun kecil di pinggir kota terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada suara jangkrik dan angin yang sesekali menderu. Mila, seorang mahasiswa yang baru selesai menghadiri seminar di kota seberang, menunggu kereta terakhir untuk pulang. Namun, tak ada tanda-tanda kereta akan tiba.
Dia melirik jam tangannya. Pukul 23.45. "Kenapa keretanya belum datang juga?" gumamnya gelisah. Stasiun itu hanya dijaga oleh seorang petugas tua yang terlihat mengantuk di bilik tiket.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Rel bergetar. Sebuah kereta tua, bercat hitam kusam, muncul dari balik kabut. Kereta itu terlihat seperti keluaran abad lalu, dengan jendela-jendela besar yang buram dan pintu yang berderit saat terbuka.
Mila ragu sejenak. Tapi karena tidak ingin bermalam di stasiun, dia melangkah masuk. Di dalam, suasana terasa aneh. Lampu redup berwarna kekuningan, kursi-kursi kayu yang usang, dan penumpang-penumpang yang diam membisu dengan wajah tertutup topi atau syal.
Mila duduk di pojok, mencoba tidak memperhatikan mereka. Namun, udara di dalam gerbong terasa semakin dingin. Napasnya mulai terlihat seperti kabut tipis. Dia menyadari sesuatu yang aneh: tidak ada suara. Tidak ada derit roda kereta, tidak ada obrolan, bahkan tidak ada hembusan angin.
Dia menoleh ke belakang. Para penumpang kini menatapnya, wajah mereka pucat dengan mata kosong yang seperti menembus jiwanya. Mila terperanjat dan bangkit, tetapi kereta itu seolah tidak memiliki ujung. Semakin dia berjalan, semakin panjang gerbong yang harus dilalui.
"Selamat datang, Mila," suara serak terdengar dari pengeras suara kereta. Mila membeku. Bagaimana mereka tahu namanya?
Dari kejauhan, seorang pria berseragam kondektur berjalan mendekatinya. Topinya menutupi sebagian wajah, dan senyumnya terlalu lebar untuk ukuran manusia. "Kamu seharusnya tidak naik kereta ini," katanya pelan, tapi tajam.
"A-apa maksud Anda?" tanya Mila, gemetar.
"Ini adalah Kereta 609. Hanya mereka yang tidak akan kembali yang menaikinya."