"Pelita yang Meredup"
Di sebuah rumah kecil di sudut desa, tinggal sepasang suami istri, Amir dan Siti. Rumah mereka sederhana, tetapi hangat dengan tawa anak-anak mereka. Namun, beberapa bulan terakhir, rumah itu terasa hampa. Amir lebih sering pulang larut malam, sementara Siti sibuk mengurus keempat anak mereka sendirian.
Di sudut kamar, Siti duduk termenung. Tangannya memegang lembaran tagihan yang belum terbayar. Hatinya terasa berat, tetapi ia tetap berusaha menyembunyikan keresahannya. Sebagai seorang istri, ia ingin menjadi penyejuk hati suaminya, meski ada sesuatu yang terus mengganjal di benaknya.
Amir masuk ke rumah dengan langkah berat. Wajahnya lelah, matanya redup. Siti menyambutnya dengan senyuman tipis.
"Mas, sudah makan? Mau Siti siapkan teh hangat?" tanyanya lembut.
Amir hanya mengangguk, lalu duduk di kursi ruang tamu. Ia menghela napas panjang.
"Siti, aku minta maaf. Akhir-akhir ini aku sibuk dan... sepertinya, aku bukan suami yang baik," ucap Amir pelan.
Siti tertegun. Ia mendekat, duduk di samping suaminya. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi? Kita bisa hadapi bersama."
Amir menatap Siti, matanya berkaca-kaca. "Aku gagal. Pekerjaan di proyek sudah selesai, dan aku belum menemukan pekerjaan lain. Aku tidak ingin kamu dan anak-anak tahu, tapi... aku merasa tidak berguna."
Siti menggenggam tangan suaminya erat. "Mas, jangan berkata begitu. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Rezeki itu datang dari Allah. Kita hanya perlu sabar dan terus berusaha."
Amir terdiam, hatinya mulai terasa ringan. Selama ini, ia terlalu larut dalam kesedihan dan lupa bahwa Siti adalah pendukung terbesarnya.