Meski kebijakan telah diambil dan jaring pengaman pun telah disusun, namun banyak pihak menyangsikan kebijakan ini efektif. Bahkan tak sedikit yang memandang kebijakan ini adalah bentuk cuci tangan pemerintah dari mengurusi rakyatnya.
Enam jurus ini dikatakan pemerintah sebagai bentuk penyikapan dan peran pemeintah ditengah wabah covid-19, namun ternyata terkuak bahwasanya jurus yang dipamerkan pemerintah malah dinilai sebagai gimmick semata. Bahkan disebut juga sebagai pencitraan diri agar dinilai bertanggung jawab kepada rakyatnya.
Penilaian tersebut munculberdasarkan fakta yang dilihat dari  PKH yang disebut-sebut Jokowi naik 25 persen dengan total anggaran Rp37,4 triliun. Sebenarnya program ini tetap akan dijalankan tanpa ada wabah Covid-19. Merujuk pada Rancangan Pembangunan Nasional (RPJMN) 2019-2024 Kemensos memang sudah menaikkan anggaran untuk komponen ibu hamil dan anak usia dini.
Jumlah penerima manfaat juga telah dinaikkan menjadi 10 juta sesuai dengan Perpres Nomor 61 tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020. Jadi kenaikan itu sudah terjadi sebelum wabah Covid-19 melanda.
Berdasarkan laporan Kementerian Sosial 2018, Kemensos menganggarkan Rp17,5 triliun untuk 10 juta penerima manfaat. Pada 2019 nilainya naik sekitar 85 persen menjadi Rp32, 65 triliun. Wajar jika Bhima Yudhistira Adhinegara (ekonom INDEF) menyatakan bahwa program yang dipamerkan Jokowi itu hanya gimmick. Menurutnya, hal itu modifikasi kampanye dengan data yang masih berantakan. (tirto.id, 8/4/2020)
Selain data yang berantakan, program tidak bisa menyasar pekerja yang sebelum wabah Covid-19 masuk kelas menengah yang mungkin kini turun kelas menjadi miskin. Karena berdasarkan laporan Bank Dunia, 115 juta orang kelas menengah Indonesia yang masuk kelompok rentan miskin. Bahkan bisa jadi memang sudah miskin.
Ditambah lagi berbedanya penjelasan terkait semua data dari beberapa pejabat yang terkait. Itu semakin menambah keyakinan publik, bahwa negeri ini memang tidak beres dalam pengurusannya.
Begitu juga dengan program kartu sembako yang hanya 200 ribu per bulan dan ditujukan untuk hanya 20 juta penduduk miskin. Ini pun nyatanya bukan program baru. Hanya saja, sebelumnya dilakukan per tiga bulan, dan sekarang diubah menjadi tiap bulan.
Selain itu juga, program kartu pra kerja juga dinilai merupakan program yang tidak nyambung. Alih-alih disebut program-program bentukan pemerintah ini adalah langkah kebijakan pemerintah dalam menangani corona, dimana saat ini rakyat butuh jaminan, rakyat butuh makan, pemerintah sendiri justru menyuruh sebagaian dari rakyatnya untuk mengikuti pelatihan. Selain itu dari program ini apakah ada jaminan bahwasanya setelah mengikuti pelatihan dijamin mendapatkan pekerjaan? lantas apakah kuota pelatihn ini cukup untuk menampung ribuan rakyat yang membutihkan pekerjaan?
Adapun untuk program subsidi listrik, maka faktanya tidak semua pelanggan 450 V dan 900 V bisa menikmati apa yang digembar-gemborkan. Ditengah obral subsidi tarif listrik untuk warga miskin ini, ternyata para pelanggan listrik 1300 V ke atas, justru harus membayar lebih mahal dari biasanya. Itu pun tanpa pemberitahuan sama sekali.
Padahal faktanya, tak semua pelanggan pada golongan tersebut terkategori penduduk kaya. Karena banyak para pengguna yang memanfaatkan listrik untuk usaha kecil-kecilan di rumah.