Presiden baru terpilih, Joko Widodo, memastikan niatnya untuk menaikkan BBM sebesar 46,1% akan terealisasi mulai 1 November 2014 (Kompas.com). Ini sesuai dengan prediksi beberapa kalangan termasuk penulis, bahwa tidak ada bedanya antara SBY, Jokowi, atau siapapun presidennya. Dalih pengalihan subsidi untuk kepentingan rakyat dan penyelamatan APBN sungguh hanya omong kosong belaka. Tak ada ceritanya pembangunan infrastruktur yang berarti setelah kenaikan BBM tahun lalu.Lagipula pajak merupakan persentase terbesar dalam APBN, 20% sisanya dari kehutanan, pertambangan, kelautan, dll. Subsidi BBM termasuk secuil bagian dari 20% tersebut. Lalu bagaimana bias dikatakan penyelamatan APBN?
Hal yang paling terpampang nyata, harga Rp.9500, bisa membuat orang berpikir, apakah akan membeli premium ataukah pertamax dengan hanya perbedaan Rp.2000 saja per liter dengan pertimbangan kualitas termasuk di dalamnya. Sehingga banyak yang akan membuka diri untuk mau memasukkan kendaraannya ke SPBU selain Pertamina. Inilah yang diharapkan SPBU asing sedari dulu sehingga tidak lagi sepi pelanggan. Tapi apakah ini juga yang diharapkan oleh rakyat? Apa kemiskinan, kriminalitas, putus sekolah dengan angka yang tinggi yang diinginkan oleh pemerintah? Kalo tidak, tapi mengapa malah mengambil langkah yang tidak populis dan tidak pro rakyat?
Itulah, jika kita ‘manut’ pada liberalisasi ekonomi yang dijamin dalam UU Migas No. 22/2001 yang menyerahkan harga ke mekanisme pasar. Maka tak akan ada beda, siapapun presidennya, selama sistem kapitalis yang notabene melahirkan liberalisasi di segala lini tetap diterapkan, selama itu pula kata sejahtera untuk semua tak akan pernah tersemat dalam kehidupan kita sebagai manusia. Saatnya ganti sistem!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H