Namaku Fira Cahaya Sari, panggil saja aku Aya. Aku hanyalah seorang gadis desa yang lulus dari bangku SMP. Setelah lulus sekolah aku bekerja ikut pamanku ke kota, kota besar penuh asap kendaraan, banyak sampah-sampah yang berceceran di bibir sungai. Gedung-gedung tinggi menjulang, entah Gedung perkantoran atau Gedung hotel, yang jelas aku tidak pernah menginjakkan kakiku disana. Pohon-pohon besar di tepi jalan bisa dihitung dengan jari.  Udara panas menyelimuti setiap siang hari, terik matahari takkan henti membakar kulit seorang kuli. Bagaikan Solo_Semarang  dengan kehidupan di desa.
Oh iya, aku ingin menceritakan sepenggal kisahku 20 tahun yang lalu. Aku hidup di kota bersama pamanku, aku bekerja di kedainya. Kedai kopi kecil-kecilan, bisa dibilang upah yang aku dapatkan tidak sesuai dengan biaya kehidupan disana, ya setidaknya bisa untuk naik bemo keliling kota. Keputusan itu sudah kumantapkan ketika duduk di bangku kelas 2 SMP, membayangkan kehidupan kota yang serba modern, banyak tempat-tempat untuk memanjakan mata, tapi yang terpenting agar aku bisa nonton konser Sheila On 7, band yang popular di zamannya.
Aku mempunyai kisah asmara di kota itu, yang masih tersimpan di memori kepalaku, sulit dilupakan namun sakit untuk diingat. Kisah itu dimulai dari sebuah kopi. Jadi, selepas dzuhur aku bersama paman bersiap untuk membuka kedai, kedai itu buka sampai jam 9 malam, letaknya yang strategis dekat perkantoran menjadikan kedai itu selalu ramai. Entah pekerja kantor yang lembur mencari insipirasi dengan segelas kopi, maupun supir bemo yang ngopi untuk melepas penat. Dari situlah aku mengenal Anto supir bemo yang memiliki lesung pipit dipipi kirinya, senyumnya tidak bisa mengalihkan pendanganku. Anto selalu mampir ke kedai itu selepas pulang narik bemo. Dia selalu menceritakan semua pengalamannya kepadaku. Dari situlah kami selalu bersenda-gurau bahkan bertukar cerita, pengalaman, maupun kisah asmara dengan ditemani segelas kopi.
Hari demi hari berlalu, tepat dibulan ketujuh tanggal 13 bertepatan dengan hari ulang tahunku, Anto mengajakku keliling kota, dipinggir alun-alun anto memarkirkan bemonya, dan menyuruhku keluar. Kami berjalan mengelilingi alun-alun mencari tempat duduk dibawah pohon, Anto mencurahkan isi hatinya disertai rasa gemetar ditangannya, dan alhasil kami merajut kasih serta janji di alun-alun itu. Tiga bulan berlalu, hubunganku dengan Anto semakin lengkat, bagaikan lem dengan kertas yang tak dapat dipisihkan.
Tepat satu tahun kami merajut kasih, dia memberiku sebuah tiket konser, konser Shela On 7. Â Sesuai janji dia akan menjemputku di kedai, jam dinding sudah menjukkan pukul tujuh, padahal dia berjanji akan menjemputku sebelum pukul tujuh. Rintik hujan mulai membasahi sudut-sudut kedai. Tiga jam sudah aku menunggu dia di kedai, sendiri. Setiap kali suara bemo terdengar, aku selalu berharap bahwa itu adalah Anto, kekasihku. Namun, harapanku itu sia-sia. Alhasil aku gagal nonton konser, aku gagal keluar dengan kekasihku.
Siang harinya kutunggu dia di depan kedai, tapi tak kunjung datang. Kutemui dia ke tempat dia berkumpul dengan sopir-sopir bemo, namun tak terlihat batang hidungnya. Kutanyakan dia Pak Basuki, namun kata beliau, dia izin pulang kampung karena mendadak terdengar bahwa ibunya sedang sakit di kampung. Aku lega mendengar berita dari Pak Basuki, namun aku juga kecewa karena dia tidak memberitahuku.
Dua minggu sudah berlalu, akhirnya yang kutunggu-tunggu datang kembali, dia menemuiku di kedai. Kutanyakan kabar dia, kabar ibunya, dan keluarga di kampunya, meskipun aku sediri belum mengenal  keluarganya. Hanya satu kalimat yang terucap dari bibirnya "Aku minta maaf Aya, sungguh aku minta maaf". Kalimat yang membuatku bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Dia minta maaf karena dia mendadak pulang kampung atau, ah sudahlah aku urungkan pikiran negatif dari kepalaku. Setelah kuseduhkan segelas kopi, ia mulai cerita sedikit demi sedikit peristiwa yang dia alami.
Sungguh sangat menyayat hatiku, air mata tak henti menetes membasahi pipiku, hati yang semula Bahagia melihat kedatangannya, seketika berubah menjadi guncangan, layaknya tsunami. Setelah aku mendengar bahwa dia telah menikah dengan anak pak kades di kampungnya, alasan-alasan yang dia lontarkan dari mulutnya sudah tak kuhiraukan, aku kecewa, aku kecewa. Tanpa pikir Panjang dengan hati terguncang, langsung kuambil tas dan pulang ke desa. Seminggu kepulanganku, dia mengirimiku surat yang berisi alasan dia menikah, dia hanya ingin menuruti permintaan terakhir dari ibunya, terserah alasan apapun itu aku sudah tidak peduli. Aku kecewa, terluka. Bagiku dia hanya masa lalu yang akan menghantui ingatanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H