[caption id="attachment_322627" align="alignnone" width="700" caption="Ratusan suporter antre tiket di depan loket Stadion Jatidiri menjelang laga Tinas U-19 vs PSIS Semarang (foto dindin)"][/caption]
Sepakbola selalu saja menarik dikupas, dari sudut manapun. Mulai dari sisi organisasi, pelatih, pemain, teknik dan strategi permainan, supporter, sampai keuntungan bisnis yang bisa didulang dari permainan sepakbola.
Pertandingan sepak bola selalu menjadi magnet bagi masyarakat dan bisa menjadi pendulang pundi-pundi uang bagi klub-klub. Lihat saja ribuan orang rela merogoh kocek untuk antre membeli tiket demi sebuah pertandingan klub kesayangannya. Seperti yang saya lakukan juga sore itu.
Klub kesayangan saya PSIS Semarang, akan menjajal kehebatan Timnas U-19 di Stadion Jatidiri Semarang. Sejak beberapa hari lalu pertandingan ini menjadi headline surat kabar lokal. Saya yang biasanya tak tertarik menonton pertandingan langsung, sore itu tiba-tiba saja menuju Stadion Jatidiri. Saya ingin memotret Evan Dimas dkk di lapangan hijau, pasti menarik.
Jadwal kick off akan dimulai pkl 20.30. Saya tidak membeli tiket sebelumnya karena berpikir bisa membelinya di loket stadion. Ternyata dugaan meleset, walau pkl 16.00 sudah sampai di stadion, antrean penonton yang akan membeli tiket ternyata cukup banyak. Riuh, ramai sekali.
Sungguh saya menikmati ini. Melihat ratusan orang berdiri di ruang sempit, menunggu loket dibuka dengan penuh kemarahan. Pasti akan terjadi hal yang menggelikan. Benar saja. Kekecewaan yang memuncak, kegelisahan, dan kekhawatiran tak memperoleh tiket menjadi energi massal yang massif. Sumpah serapahpun keluar dari para suporter.
”Aku neng SK wae ora ngene antrine. (Saya ke lokalisasi saja tidak seperti ini antrinya)” ujar salah seorang penonton yang tentu saja disambut tawa yang lain. Ada yang juga berucap ”Mau dukung timnas kok susahnya minta ampun”. Dan masih banyak sumpah serapah lain yang kemudian terhenti saat loket dibuka. Takberapa lama buka, panitia pun kembali menutup loket. Tiket habis, begitu bunyi tulisan yang saya baca dari jauh.
Saya berinisiatif mencari loket lain di tribun timur, namun kondisinya tidak jauh berbeda. Malah lebih parah. Saat antrean sudah mengular, tiba-tiba ada pengumuman dari panitia kalau loket dipindah ke samping pintu masuk. Kontan saja ratusan orang berlarian menuju lokasi yang disebutkan. Keributan pun tak terhindarkan. Untung saja polisi sigap mengamankan situasi.
Sampai menjelang malam, tampak hilir mudik ratusan suporter yang bernasib seperti saya-tak memperoleh tiket. Sebagian dari mereka hanya duduk-duduk disekitar stadion, sebagian lainnya bergerombol dan bernyanyi-nyanyi.
Saya bergegas pulang, mandi, dan duduk di depan televisi. Menunggu pertandingan itu disiarkan. Bisa jadi saya, dan ratusan supporter tadi memang kurang gaul dan terlalu konservatif. Harusnya mulai meninggalkan cara kuno membeli tiket on the spot. Mulailah membeli dengan cara online atau menjadi member klub. Sumpah serapah itupun tak perlu keluar karenanya. Betul tulisan di spanduk dan menempel di kaos-kaos petugas loket tadi. NO TICKET NO GAME. Gagal deh memotret Evan Dimas dkk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H