[caption id="attachment_380746" align="aligncenter" width="560" caption="Tetap semngat bekerja walau BBM Naik, seperti yang dilakukan wanita tua ini di kampung saya (foto dindin)"][/caption]
Tiba-tiba saja saya teringat kampung halaman. Teringat ibu, teringat sahabat-sahabat waktu kecil. Teringat para tetangga yang selalu meyapa ramah ketika saya pulang. Memang sudah hampir dua bulan saya tidak mudik. Kangen rasanya.
Iseng saya menelpon Jacky sahabat saya. Ia karib sejak kecil. Kami dulu sangat akrab, kemana-mana selalau bersaman, namun setelah dewasa kami berpisah. Saya melanjutkan sekolah ke Semarang, Ia memilih menikah dan memulai usahanya menjadi pemborong kecil-kecilan di kampung
Saya memang rajin menelpon sahabat-sahabat semasa kecil di kampung. Bisa jadi pengobat rindu. Bisanya sahabat-sahabat saya hanya bercerita si anu yang menikah, si Fulan yang meninggal, ceritanya kini kok lain.
“Ada kabar apa nih. Apik-apik kabeh too ngomah?” saya mulai pembicaraan telepon.
“Ndak Mas. Banyak kejadian mengerikan?” jawabnya
“Astahfirullahalazim. Kejadian apa itu?” saya beringsut dari kursi malas.
Sahabat saya ini bercerita bahwa setelah kenaikan BBM banyak terjadi peristiwa pilu. Di desa tetangga, seorang Ketua RT sebut saja namanya Klendet (62) mengalami nasib tragis karena ditusuk oleh Yatin (42) salah seorang warganya. Kabar yang beredar keduanya memiliki persoalan pribadi yang cukup lama terpendam. Namun menurut sahabat saya ini belakangan diketahui Yatin kesal lantaran ia tidak mendapatkan kartu kompensasi kenaikan BBM yang dibagikan oleh pemerintah. Hingga kini polisi belum berhasil meringkus Yatin . Klendet akhirnya tewas setelah menjalani perwatan di RSU PKU Muhammadiyah Gombong.
Kejadian kedua, warung Yu Ja’ah yang terletak di pingir jalan desa beberapa waktu lalu dibobol pencuri. Yu Ja’ah baru beberapa tahun memulai usaha toko kelontong. Ia membuka toko bermodal tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun bekerja di Bandung. Saat usahanya mulai jalan dan berkembang, kini malah dibobol maling. Hampir semua barang-barang berharga di dalam tokonya raib.
“Lhah, sampeyan kok tahu kalau semuanya itu karena kenaikan harga BBM” saya menyangsikan logika penarikan kesimpulan kawan saya.
“Ya jelas ada hubungannya. Kejadian pertama, jelas itu salah pemerintah yang tidak cermat dalam membuat sistem jaring sosial kenaikan BBM. Si Yatin itu kan rakyat miskin, kenapa tidak mendapatkan kartu itu. Padahal, Si Joni-ia menyebut salah seorang aparat pemerintah-malah diberi. Konyolnya lagi Si Joni ikut-ikutan mencairkan dan kompensasi itu di kantor pos bersama warga miskin lainnya. Padahal dia kan tidak miskin, jadi aparat pemerintah lagi. Ini ketidakadilan yang nyata dan membuat orang seperti Si Yatin gelap mata!” ungkap sahabat saya.
“Lha terus kejadian yang kedua?” saya bertanya lagi.
“Kedua jelas ini karena kesalahan pemerintah juga. Mestinya kenaikan BBM itu diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja. Kalau cari pekerjaan gampang, pasti tidak ada pengangguran. Yang mencuri di warung Yu Jaah itu kan karena sudah hilang akal. Takpunya kerja tetapi tetap harus memenuhi kebutuhan keluarga yang juga semakin melambung karena kenaikan BBM. Cara apalagi selain mencuri. Memangnya pemerintah mau kasih uang untuk anak istri mereka?” jawab sahabat saya berapi-api.
Saya hanya termenung mendengar jawaban pintar kawan saya ini. Saya paham pernyataannya subjektif, karena ia juga aktif di partai oposisi. Tentu tak senang dengan kebijakan Jokwi yang menaikkan harga BBM. Sungguh kampung adalah senyaman-nyamannya tempat tinggal. Tempat dimana keramahan, kesantunan, dan prinsip tepa salira masih indah terjaga di sana. Namun benarkah kedamaian itu berubah brutal hanya gara-gara pemerintah menaikkan BBM?. Mestinya tidak kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H