Namanya saja Jokowi. Tidak ada duanya. Boleh cari di seantero. Joko Widodo nama aslinya. Mantan Wali Kota Solo. Bermula, terdapat enam belas nama dengan panggilan yang sama dalam satu kota, Joko Widodo, produk Solo.
Sulit membedakan di antara sekian nama dengan sebutan yang juga sama. Panggilannya, sebutan diambil dari awal, tengah atau belakang, tidak akan ketemu dengan Jokowi. Terpapar berlainan dengan nama panggilannya. Permulaannya dipanggil Joko, namun diberi akhiran 'wi,' menjadi Jokowi, nama tak lazim. Jika nama yang terpapar Joko Widodo, oleh masyarakat Jawa maka panggilannya kalau tidak Joko, Wid penggantinya. Ini kok Jokowi, dari mana asal muasalnya.
Faktanya, seorang pengusaha meubel dari Eropa, yang berhubungan langsung dengan pengusaha di Solo sulit mengingat banyak orang nama yang sama. Maka, Joko Widodo yang satu ini karena sering bertemu dengan pengusaha luar negeri tadi, serta merta menyematkan nama Jokowi pada nama panggilannya. Joko Widodo yang satu ini tidak keberatan. Malah dia selalu ingat kepada yang memberikan nama tersebut, yakni Micl Romaknan asal Prancis. 'Menamakan Jokowi, mirip Jokovich', imbuh Micl Romaknan ceria. Nama yang sahaja, sampai sekarang tersemat kukuh dalam kesehariannya.
Jokowi, yang mantan Gubernur DKI, politisi yang handal berkomunikasi, tapi tetap berlaku sahaja. Berdialog dan bernegoisasi adalah lahannya. Berpidato panjang-panjang bak orator yang mendayu memengaruhi khalayak bukan bidangnya. Tetapi mumpuni berdialog berjam-jam menyelami alam pikir lawan bicaranya. Bicaranya  sederhana, tidak bersayap dan berbelit-belit, mudah dicerna khalayak. Dan sekarang, setelah jadi Presiden, Jokowi  berbicara blak-blakan dalam berbagai hal. Ia tetap bersahaja.
Soal hutang Indonesia misalnya, Jokowi berbicara kepada lembaga-lembaga internasional. Ia menyebut, utang Indonesia saat ini (2015) masih sekitar Rp. 2.600 triliun, baik utang bilateral ke Negara-negara lain, maupun ke World Bank dan Asian Development Bank (ADB). Ya kita blak-blakan saja, memang itu sebenarnya. Yang paling penting adalah harus dihitung. Sebetulnya hutang itu tidak apa-apa, jangan kita alergi hutang. Utang itu tidak apa-apa asal dipakai untuk produktivitas, untuk hal-hal yang produktif, akan tetapi, kalau kita pinjam, kemudian untuk subsidi BBM, itu yang saya tidak setuju, ujarnya. (Kompas.com (1 Mei 2015).
Negara besar
Ketika sebelumnya, pembangunan kereta api cepat akan dimulai, Â sesuatu yang selama ini hanya ada di Eropa, Jepang, dan Tiongkok. Namun Presiden belum membuka informasi mengenai jalur pembangunan kereta api cepat. Terkait hal itu, Jokowi meminta kepada seluruh rakyat untuk punya optimisme bahwa Indonesia adalah Negara besar, punya potensi yang tinggi dan kekuatan yang besar, baik alam maupun rakyatnya. "Jangan sekali-kali kita punya pandangan negative terhadap diri kita sendiri dan mempunyai rasa pesimisme. Itu harus dibuang," kata Presiden Jokowi. Bukti bahwa Indonesia adalah Negara besar, ia menunjuk bahwa jumlah penduduk muslimnya menjadi yang terbesar di dunia. "Penduduk kita nomor empat di dunia, ekonomi kita juga masuk G-20," ujarnya.
Saat Konfrensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KAA) ke-60 dilaksanakan tahun 2015 di Jakarta dan Bandung, Presiden Jokowi mengatakan bahwa sejumlah negara peserta juga memandang Indonesia sebagai Negara besar. "Mereka memandang kita, kok kita malah pesimistis sendiri, dingkluk, dingkluk sendiri. Rendah hati tidak apa-apa, rendah hati itu penting, tetapi kadang-kadang kita juga harus sombong. Ini loh Indonesia! Tidak usah takut-takut," kata Presiden Jokowi, (Kompas.com, 1 Mei 2015).
Jangan munculkan pesimisme
Presiden Jokowi meminta sejumlah pihak untuk tidak terus mengumbar pesimisme dan sindiran kepada pemerintah. Pemerintah saat ini sudah mendapatkan kepercayaan besar, bahkan dari dunia internasional. Hal tersebut bisa dilihat dari Survei Gallup World Poll (GWP). Survei tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang pemerintahannya paling dipercaya oleh masyarakat. Mari kita munculkan optimisme, jangan kemukakan pesimisme,' kata Jokowi di Malang, Kamis (20/7/2017).
Tidak Ada Pemerintahan Absolut