Inisial nyeleneh terasa pas. Julukan sebagai negarawan, juga mengena. Pernah memimpin ummat terbesar Indonesia bahkan dunia, tiga periode. Seorang kolumnis kawakan, kaya gagasan, tulisannya mencerahkan. Seorang budayawan yang kerap memancing sensasi keagamaan, dan seniman yang sering membuat gergeran.
Pemimpin paling kreatif. Tokoh moderat penuh kontroversial. Guru bangsa yang inovatif. Politikus kawakan, sering bermanuver dengan guyonan. Sebagai ulama di belahan  nusantara, sekaligus seorang kiai yang rendah hati, pelobi unggul jempolan, diperhitungkan dalam banyak hal. Itulah Gus Dur.
Sebagai politikus, Gus Dur adalah penggagas Forum Demokrasi (FD) sekaligus pemimpin yang berprinsip dengan jargon demokrat. Ia memimpin perjuangan moral untuk menegakkan demokrasi dan kesetaraan. Ia tetap berjuang walaupun dilengserkan dari jabatan presiden. Suaranya mengaum demi tegaknya demokrasi, dan meratanya keadilan bagi kaum lemah dan minoritas yeng tertindas. Pernah memimpin lintas agama-agama sedunia. Beliau pelobi tangguh yang penuh humor, berjiwa humanis, bahkan populis, tidak sektarian. Ketika diajak membengkongi MUI dan ICMI, Gus Dur menolak. Itu sektarian, pungkasnya.
Ketika Jam'iyah Nahdlatul Ulama dipimpin oleh Prof. Dr. KH. Idkham Khalid, kelihatan tidak ada tanda-tanda yang bisa menggantikan yang setara beliau. Namun pada suatu muktamar terbetiklah suara di media masa dari ucapan Amin Rais Pimpinan Muhammadiah waktu itu dengan lontaran wacana bahwa, 'Seandainya Nahdlatul Ulama (NU) dipimpin oleh sosok sekaliber Gus Dur, maka kontribusinya akan lebih dari pendahulunya'. Pernyataan, sekaligus ucapan Amin Rais itu, ternyata kemudian benar dan terbukti, tidak meleset.
Karena ulahnya di belantika pemilihan pengurus besar Nahdlatul Ulama, bersaing ketat dengan Abu Hasan pada muktamar NU tahun 1997. Di Jembatan Semanggi Jakarta, terpampang sebuah  sepanduk besar yang berbunyi "Gantung Gus Dur Pemecah-belah Ummat", senyuman gaya Gus Dur menjawabnya. Dengan guyonan khas pada seterunya ia berkata: 'Abu Hasan memang kaya tetapi tidak lebih dari seorang makelar.
Dia bisa berdoa dengan membaca al-Fatihah saja'. Media massa terperangah dan pers geger, tercengang dengan banyolan yang mengena. Dan fakta menyatakan benar, bahwa Muktamar NU tahun itu adalah milik Gus Dur. Ia tampil tetap rendah hati dan terpilih sebagai Rais Am Tanfidziyyah Nahdlatul Ulama yang kedua kalinya.
Begitu juga waktu pemilihan presiden berlangsung 1999, tidak ada yang meramalkan akan terjadi suatu keajaiban dunia bahwa Gus Dur terpilih jadi presiden keempat di republik ini. Seorang Gus Dur yang nampak lugu, pakai sandal dan sering pakai sarung, yang pernah stroke dua kali, bahkan penglihatannya tidak memungkinkan untuk membaca teks pidato di muka umum, terpilih tanpa diduga dengan mengalahkan pesaingnya sekaligus yang kemudian menjadi wakilnya, yaitu Megawati Soekarnoputri. Khalayak takjub. Kagum.
Gus Dur sosok humanis, tidak pernah menyakiti hati orang, Â apalagi sakit hati. Sebelum jadi presiden, pernah menawari Riyass Rasyid agar nanti membantunya dalam kabinet, namun Riyass menolak untuk menjadi menteri karena ingin menjadi Dirjen Otonomi Daerah saja.
Ketika Gus Dur akhirnya terpilih sebagai presiden, Ryass ditunjuk sebagai Menteri Otda. Ryass pun protes, tapi Gus Dur berkilah seraya menjawab, 'Lho, saya juga tidak mau Bapak Ryass jadi menteri, tapi Amin Rais dan Megawati selalu mendorong agar Bapak diangkat memangku jabatan jadi menteri,' tutur Ryass sambil tertawa renyah, guyon malah.
Sudi Silalahi dipromosikan menjabat eselon I sebagai Dirjen di Departemen Pertahanan RI, ketika Mahfud MD jadi menterinya. Presiden Gus Dur setuju, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat juga oke. Tetapi ketika mengurus SK-nya, Gus Dur kembali tiba-tiba tidak menyetujui. Kenapa? 'Karena para kiai Jawa Timur membawa aspirasi bahwa mereka tidak setuju kalau Sudi jadi Dirjen, mereka masih senang kalau Sudi tetap sebagai Pangdam,' kata Gus Dur, sang presiden. Dengan penolakan itu, tersinggungkah Sudi? Tidak. Pembatalan SK itu justeru terhormat bagi Sudi, karena Sudi masih sangat dibutuhkan oleh para kiai sebagai Pangdam Jawa Timur.
Sebagai ulama, Gus Dur adalah nama kondang dari Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Apapun yang dikatakannya hampir-hampir menduduki posisi sebagai fatwa bagi berjuta-juta kaum Muslimin. Umat, banyak memposisikannya sebagai penggagas, 'Islam harus dipribumisasikan,' pungkasnya dalam satu kesempatan. Islam harus mengakar ke dalam bumi Indonesia modern, bumi yang sifatnya nasional heterogin, bukan lokal homogin. Mempermulus proses demokratisasi lewat interpretasi ajaran Islam yang dimengerti umat.