Saya hanyalah anak petani dengan hasil panen rata-rata 1,5 ton setiap panen. Secara fisik jumlah tersebut mungkin bisa terbilang cukup. Tapi, kenyataannya kondisi itu hanyalah seperti sebuah arisan. Keadaan itu sangat dirasakan kami sekeluarga. Namun bagi bapak hasil tersebut sudahlah cukup. Nyatannya saya dan ketiga saudara saya bisa bersekolah semua.Saya anak ketiga dari empat saudara, dan satu-satunnya anak laki-laki dari orang tua saya. Tentulah prilaku saya berbeda dan terbawa oleh mode seorang anak laki-laki umumnya. Namun karna semua saudara saya perempuan. Adik sayalah yang paling diuntungkan. Dalam segi waris-mewaris barang. Mau bagaimana lagi. Tapi masih saja ada untungnya, semua saudara saya rajin dan pintar. Nah! Disitulah untungnya.
Kurang beruntung saya salah satunnyaadalah mengenai sepeda. Ketika SD saya minta sepeda federal dengan rangka mode pria kepada orang tua saya. Saat itu saya iri kepada adik saya yang mendapat sepeda kecil perempuan yang lagi-lagi warisan dari dua kakak perempuan saya yang saat itu kakak perempuan pertama sudah lulus sekolah, sedangkan kakak kedua masih sekolah SMA. Saya sedikit ngotot, dan akhirnya dengan terlihat sedikit susah orang tua saya menurutinya. Jujur waktu itu saya berani tidak makan sehari penuh. Entah kenapa saya seperti sudah hafal dengan gelegat orang tua saya. Bila saya sudah seperti itu maka mereka akan risau dan sangat risau. Kadang saya berpikir mungkin saya adalah satu-satunnya anak laki-laki yang diidamkan bapak. Mungkin juga ibu.
Sepeda pertama saya esok harinnya datang. Harinnya disamakan dengan hari wetonku. Maaf saat itu keluarga kami tidak mengenal hari ulang taun. Mereka lebih menghormati hari weton yang dibarengi membuat tumpeng kecil untuk kemudian dibuat selamat kecil-kecilan satu rumah. Baik, mengenai sepeda baruku. Ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Sepeda baru dengan warna mengkilat dan dilengkapi cakram depan belakang dan dapat diatur tekanan geernya. Yah, mirip seperti merek Wimcycle-lah. Faktanya sepeda saya saat itu hanyalah sepeda second bermerek Mustang. Jenis sepeda gunung mode pria, namun tidak ada katrol maupun rem cakram. Aku terima waktu otu dengan kepuasan yang kurang. Tapi tak apalah, Seng penting nduwe pit. Pikirku waktu itu dengan lugunnya. Sepeda itu tak bertahan lama.
Pertumbuhanku cukup cepat. Sehingga waktu aku masuk SMP aku mulai meninggalkan sepeda itu. Kutaruh saja digudang sampai berbulan-bulan. Hingga akhirnya bapak menjualnya kepengepul rongsokan. Kabapak harganya tinggal 10 ribu. Beliau mengatakannya dengan tawa geli. Jarak SMP dari rumah kurang lebih ada lima kilo meter dan kutempuh dengan sepeda mini (waktu itu taun 2010 dan semua teman se- SMP-ku masih menggunakan sepeda untuk berangkat ke sekolah) yang dibelikan bapak dari pak lik Komari. Sepeda itu dulunnya dipakai anak Pak Lik Komari yang setaun lebih muda dari kakak perempuan keduaku. Sedangkan kakak perempuanku tidak mewariskan sepedannya karna masih dipakai untuk kursus menjahit yang harus PP (pulang pergi) setiap hari.
Saat SMP sebenarnya aku sangat ingin memiliki sepeda dengan mode pria seperti punya sepupuku. Meski hanya sepeda second tapi federal asli. Dengan geer berkatrol dan yang dapat diatur tekanannya. Terlihat lebih gagah. Sekali lagi kesadaran diri aku tidak boleh egois. Tiga tahun aku lewati SMP-ku dengan sepeda mini warna merah itu. Banyak cerita selama itu. Mengenai ban bocor, ban terpeok atau rantai putus mungkin lumrah. Yang paling seru ketika grombolanku dihadang jembatan sebagai penghubung desa ambrol. Jalan itu adalah jalan paling dekat yang biyasa kami lewati. Dalam keadaan lekas hujan semalam, kami tidak mau putar balik. Tapi malah sepakat melewati jembatan gantung yang sebelumnya harus melewati jalan kecil di pinggiran kali yang saat itu banjir. Saat itu aku sempat ngeyel karna anggapanku jalan itu pasti berlumpur. Dan taulah jadnnya bila sepeda mini bila banya terkena lumpur tidak akan bisa jalan. Karna slebor yang terbalut lumpur. Sementara sepeda mode pria itupun juga akan terasa bertambah berat.
Salah sau temanku membujuk. Karna hari semakin siang akhirnya aku yang mengalah. Sempat terpikir kami mau bolos hari itu. Jalan yang kubayangkan sebelumnya salah besar. Memang benar jalan itu di pinggiran aliran sungai. Tapi tanahnya tanah merah yang sudah sering dilewati orang. Jadi sangat mulus, bahkan lebih mulus dari aspal jalan raya. Jalan liku-liku dengan tanjakan dan turunan tak beraturan. Kami melwatinnya dengan sangat ceria ala anak SMP. Meski akhirnya kami telat juga. Namun akhirnya jalan itu menjadi jalan faforit yang kami lewati lebih dari sebulan sampai jembatan selesai dibangun. Malah terkadang kami rindu dan mulai melewati jalan tersebut.
Aku masih memakai sepeda mini warna merah dengan cat yang mulai memudar itu sampai aku SMA. Adik perempuanku mulai menginjak SMP dan sekolah disekolahku dulu menggunakan sepeda warisan kakak perempuanku. Sementara kakak perempuanku berangkat ke Pathi untuk bekerja dan akhirnya menikah ketika saya kelas dua SMA. Aku pernah dijanjikan sepeda mode pria yang menjadi impianku sejak dulu. Tapi tak terwujud sampai saat ini. Mungkin dia lupa karna momen ketika mengatakan hal tersebut tidak spesial (Maksudnya saat-saat bercanda).
Semenjak aku kuliyah sepeda mini dengan cat merah pudar itu kini telah tersulap menjadi sepeda kekar yang setiap hari dipakai bapak cari rumput setelah sepeda jengki biru yang klasik kerangka tenganya patah. Sementara adik perempuanku mondok di kota sambil meneruskan sekolah SMA. Sementara sepedanya dulu dipakai ibu kepasar maupun kesawah setelah sepedanya dulu terpasung dikandang ayam. Keluargaku baru bisa membeli sepeda motor tahun 2013 ketika saya kelas tiga SMA. Walaupun sudah punya sepeda motor bapak tetap memilih sepeda untuk kesawah. Katanya eman-eman kalu lecet. Sementara ibu tidak bisa memakai meski sudah belajar berkali-kali.
Adik perempuan mondok dan baru pulang tiga bulan sekali. Kedua kakak perempuanku berumah tangga bersama suami, yang pertama di Surabaya dan yang kedua di Kalimantan. Saya sendiri pulang sebulan sekali. Tentu sepeda motor dirumah hanya dipakai untuk kondangan atau ketempat sepupu untuk silaturahmi. Sementar aktivitas sehari-hari bapak tetap berminat dengan sepedha onthelnya yang dulu kugunakan.
Sekarang saya kuliah dengan jarak kos ke kampus sekitar 100 meter. Setiap pagi aku jalan kaki berangkat kekampus untuk berburu pengetahuan dari orang jenius disana. Sering kali rekan mahasiswa menggunakan sepeda motor walau dalam jarak demikian. Batinku meringis. Cara itulah yang kujadikan pegangan sehingga aku masih melangkah tegap walau dalam swasana yang dipenuhi rasa iri. Masih ingat kata teman pada suatu waktu dalam bahasa Jawa“Jaman saiki ora nduwe spedhamotor, rasane kaya ora nduwe sikil”. Aku hanya mengiyakan dalam pemberontakan dalam hati “Belum tentu”. Kataku menyombongkan diri.
(Kisahku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H