"Kak, doa apalagi yang harus tiyang panjatkan? Semua dzikir telah terlafadz, tak satu lelap hadirkan kakak di mimpiku.."
"Sabar adikku sayang. Apa kamu mau kita berbincang persis sebelum lelapmu?"
"Apa kakak sudah selesai bekerja?"
"Kadang-kadang belum. Tapi kalau aku selesai pas di jam 5 sore, kita bisa berbincang setengah jam sampai kamu terlelap di setengah sepuluh malam. Meski tak menjamin aku akan hadir di mimpimu setelahnya, aku harap suaraku masih tertinggal di jiwamu."
"Siap. Aku akan bereskan dagangan selalu di pukul delapan. Jadi tak ada pembeli yang akan mengganggu perbincangan kita."
"Apa tak terlalu pagi? Jemaah tarawih bahkan belum turun dari mesjid. Apa kamu bisa dapat untung berjualan begitu?"
"Tenang kak, biasanya sebagian besar jualanku sudah habis sebelum adzan isya. Aku menjual menu takjil dan sahur, jadi tak ada lagi jualan yang harus kutunggui sampai malam karena belum habis."
"Ah, istriku memang paling pintar sedunia.."
"Ish, dasar tukang perayu.."
Persis di depan rumah, deru suara motor sesekali masih membelah malam. Tak ada waktu yang benar-benar sepi. Seringkali aku terlelap karena kelelahan persiapkan jualan atau jika lelah fisik tak sanggup melelapkan, kelelahan jiwa pandangi putra tunggalku yang damai bermimpi tentang masa depannya. Masa depan tanpa keharusan bekerja di negeri seberang. Tinggalkan istri dan anak. Seperti bapaknya yang tinggalkan aku dan ia.
***