Ibu mengandungmu sembilan purnama. Ikhlas bertukar nyawa hanya demi kamu lahir ke dunia. Kamu tahu? Bahkan ketika menekan ujung syaraf di pergelangan tangan ibu, dulu saat ibu bermain bersama teman-teman ibu --lelaki dan perempuan, tak penting apakah kamu sama perempuannya seperti ibu. Atau lelaki seperti ayahmu. Juga tak penting apakah bulatan yang muncul satu, dua pun tiga. Atau bulatannya tak sama besar. Yang ibu ingat, sekian purnama yang kita nikmati bersama, ibu yakin kamu juga sama mecintai setiap percakapan indah milik kita berdua. Kadang ayahmu begitu iri, tempelkan lekat-lekat telinganya demi juga bisa punyai percakapan indah bersamamu.
Sembilan purnama masih tak cukup. Dua puluh empat purnama berikutnya, aku dan ayahmu bertelikung semangat. Yakinkan dua tahun pertamamu sebagai manusia kecil terjamin dapatkan air terbaik kehidupan. Air susuku. Ibumu.Â
Selepas itu, Ibu masih tak jenak jedakan apa pun bagimu. Sembilan tahun bekal dasar wajib di sekolah terbaik semampu rezeki yang Ibu dan Ayahmu coba salurkan dengan amanah. Hanya dan demi sehatmu selalu. Seribu satu emosi kita lalui bersama. Sekali dua kamu meniru Ibu hardikkan kata-kata keras yang meruntuhkan kekuatan hati, pun airmata. Namun seribu satu pelukan, doa bersama dan riuh tawa bahagia kita, kamu, Ibu juga Ayah, yakinkan kita bersama-sama hidup dengan cara terbaik yang kita percayai.
Ketika kamu sudah siap jelajahi dunia, salah satunya dunia tak berwujud bumi namun riuh berita dan kisahnya buatmu tahu hampir semua kehidupan di seluruh semesta. Ketika kemudian sebagian kisah itu membingungkan pikirmu, percayalah, demikian juga Ibu. Namun segeralah ingat, kebingungan sehebat apa pun, berpeganglah pada cinta Ibu. Berpeganglah, kembali seperti ketika hidupmu hanya bergantung pada putus tidaknya tali pusar, kepada tali terkuat hidupmu. Hati nurani. Ketika putih adalah mutlak putih. Jangan berikan kesempatan sedikit pun bercak hitam jadikannya abu-abu, seindah apa pun warna baru itu tampak bagi semua inderamu.
Kamu adalah lelaki, sejak suara pertamamu pecah selepas lewati rahim Ibu. Kamu tetap lelaki sejati, sampai nyawa yang sama putus suara terakhirmu.Â
Kamu adalah perempuan, sejak suara pertamamu pecah selepas lewati rahim Ibu. Kamu tetap perempuan sejati, sampai nyawa yang sama putus suara terakhirmu.Â
Jika sekian belas, puluh atau tak terhitung purnama membuat kesejatianmu berubah warna, bicaralah sendiri dengan nuranimu. Jika tak juga menguatkan, bicaralah pada Ibu.Â
Ibu kembali akan bercerita..
Ibu mengandungmu sembilan purnama. Ikhlas bertukar nyawa hanya demi kamu lahir ke dunia. Kamu tahu? Bahkan ketika menekan ujung syaraf di pergelangan tangan ibu, dulu saat ibu bermain bersama teman-teman ibu --lelaki dan perempuan, tak penting apakah kamu sama perempuannya seperti ibu. Atau lelaki seperti ayahmu. Juga tak penting apakah bulatan yang muncul satu, dua pun tiga. Atau bulatannya tak sama besar. Yang ibu ingat, sekian purnama yang kita nikmati bersama, ibu yakin kamu juga sama mecintai setiap percakapan indah milik kita berdua. Kadang ayahmu begitu iri, tempelkan lekat-lekat telinganya demi juga bisa punyai percakapan indah bersamamu.
Sembilan purnama masih tak cukup. Dua puluh empat purnama berikutnya, aku dan ayahmu bertelikung semangat. Yakinkan dua tahun pertamamu sebagai manusia kecil terjamin dapatkan air terbaik kehidupan. Air susuku. Ibumu.