[caption caption="Ilustrasi - ujian nasional (Kompas.com)"][/caption]Sudah hampir di ujung dari pekan pertama April 2016. Para siswa sekolah menengah atas sedang khusyuk jalani UN (Ujian Nasional). Saya yang masih sedikit terintimidasi oleh rutinitas hiruk-pikuk "drama" UN selama sepuluh tahun ke belakang, harus juga sudah bereaksi. Putri sulung saya akan melakoni pula satu UN, jenjang sekolah dasar. Nyatanya, kami berdua lebih sering berdebat tentang pilihan sekolah menengah tujuannya nanti.
Tak bisa dipungkiri, euforia sambut UN masih cukup reaktif. Baik dari siswa sendiri dus para orang tua. Saya pribadi memberanikan diri di barisan para orang tua yang "santai". Tak ada keharusan les tambahan ini-itu. Masih "mengalah" pada prasyarat kesiapan putri saya yang beranggapan, "Mengingat ujian itu memusingkan, aku butuh bersantai dulu untuk menenangkan pikiran". Jargon yang diyakininya sejak kelas 4, hampir tiga tahun berselang. Persetujuan akhirnya saya berikan setelah usaha maksimal berdua, yang lebih sering gagal daripada berhasilnya, hapus nilai enam dari rapor. Tetap naik kelas, nilai enam masih eksis dengan beberapa nilai sembilan. Ekspektasi kemudian saya turunkan, yang penting tak ada nilai merah.
Putri sulung saya sudah menempuh dunia pendidikan selama hampir delapan tahun dari sebelas tahun umurnya sekarang. Meski baru benar-benar lepas status pekerja di pertengahan tahun lalu, aktivitas memantau perkembangan pola belajar dan kemampuannya menyerap semua mata pelajaran tentu tak bisa saya jenakkan. Akhirnya, dengan pemahaman baru--selepas kesepakatan ia akan berusaha maksimal jika jargon "sakti"-nya diluluskan, saya pribadi memilih bekerja sama. Bersama-sama menyikapi UN dengan tenang.
Terpisah, keberanian saya bersikap buah dari usaha maksimal update kemampuan parenting. Meski pernah mengenyam bangku kuliah, fakultas keguruan dan ilmu pendidikan pula, ternyata teori mengajar yang tertera A dari empat SKS di tengah semester pada transkrip kuliah saya tak mudah diterapkan terhadap anak kandung.Â
[caption caption="Curcol Putri Sulung saya tentang Kurikulum 2013. Dok. Pri"]
Pertama, saya pribadi dulunya sangat hobi membaca. Fiksi nonfiksi selalu saya lakukan hampir setiap hari. Tak pernah keluar dari tiga besar, saya ingat bagaimana saya kepit salah satu buku catatan saya saat bermain lompat tali, berlarian jaga benteng saat main sebantengan atau sekadar lompat satu kaki saat main dengklak (bahasa Sasak) di beberapa kotak bergambar di atas tanah. Itu hobi saya. Saya ceritakan sejak kecil pada putri saya, nyatanya putri saya lebih suka berendam di kolam. Praktikkan gaya bebas hasil ajaran ayahnya. Atau berlarian bersama lima adik sepupunya atau memanjat mangga sambil senandungkan Grenade Bruno Mars. Akhirnya, kerjasama sama terjadi ketika ia bersemangat meminta di-print-kan lembar contoh soal mapel (mata pelajaran) yang ia masih kesulitan pahami.
Kedua, menjadi miliser aktif para ibu-ibu bernasib serupa--galau lepel dewa menjelang UN tiba, saya pun sediakan waktu khusus setiap malam. Tak bisa dua jam, minimal setengah jam. Rutin, enam malam selama seminggu. Hasilnya, putri saya wajahnya lebih banyak berkerut dengan mulut mencucu. Jauh lebih nyaman diskusikan salah satu karakter kartun Webtoon favoritnya yang baru, atau konfirmasikan istilah-istilah pada manga Naruto Shipuden yang jauh ia hafal luar kepala daripada rumus-rumus matematika. Akhirnya, respons positif saya berupa pelukan dan ciuman bertubi-tubi ketika ia tunjukkan lembar ulangannya yang dapatkan nilai sembilan. Atau elusan punggung hangat serta keyakinan ia akan dapatkan hasil lebih baik di ulangan berikutnya, ketika nilai di bawah tujuh tertera.
Ketiga, kami berdua capai kesepakatan yang sama tak memusingkan, tak lakukan dan turuti perandai-andaian. Putri saya sudah belajar dengan caranya. Saya pun --menurut saya lho ini, sudah berusaha maksimal menjadi partner belajar terbaik. Prinsipnya, saya yakini putri saya punya keinginan sama. Lulus dengan nilai terbaik. Sudah. Cukup. Titik.
Dengan tiga besar rumusan di atas (yang pastinya versi saya sebagai orang tua), saya sungguh berharap putri saya memiliki kenangan baik tentang UN. Angka-angka bukanlah harga mati hasilnya berproses menjadi manusia. Saya dan putri saya sedang (dan masih selalu) mengembangkan cara belajar paling nyaman yang bisa ia dapatkan. Menjadi siswa terbaik sesuai standar umum, tak melulu berpatokan pada nilai rapor. Jika memang tak bisa selalu menjadi juara kelas, ia telah menjadi juara di hati saya, di hati adik-adiknya.
Tiga rumusan capaian pembelajaran saya pribadi, bagaimana sikapi anak yang notabene miliki tipe karakter berbeda-beda. Sampai sekolah menengah, saya yang cenderung Koleris, gagal sikapi rangking saya yang melorot menjadi enam besar saat kelas 1 SMA. Pun gagal selesaikan strata 1, sebelas tahun menjadi ibu, sisi Melankolik saya mengemuka. Putri saya dan ayahnya sedikit memiliki kesamaan. Si Plegmatis nan rapi. Sekali satu bak sampah diletakkan di ujung kamar, seumur hidup lah posisi tersebut menjadi tempat si bak sampah. Namun, putri sulung saya seorang Sanguin yang periang. Deretan gigi putihnya sulit tertutup karena begitu mudahnya ia tersenyum pun tertawa lebar. Tak sekali dua saya harus sabarkan ia untuk tidak dulu menginap di rumah temannya yang kebetulan sedang sendiri.Â
Terakhir, setiap berganti baju, ia sedang dalam euforia menuju ABG.Â