Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Biru di Lembaran Menguning

25 September 2024   17:26 Diperbarui: 25 September 2024   17:27 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cinta Biru di Perpustakaan sekolah. Credit Pixabay

Perpustakaan Sekolah Negeri 28 di Lombok berdiri dengan anggun di sudut halaman, dikelilingi oleh pohon-pohon rindang. Di dalamnya, keheningan menjadi latar belakang untuk ribuan halaman yang berbisik dengan cerita. Gadis, seorang kutu buku sejati, sudah menjadi bagian dari tempat itu. Lama. Hari pertama diterima di sekolah ini, ia langsung habiskan istirahat siang di perpustakaan. Namanya, urutan pertama untuk siswa seangkatannya. 

Suatu hari, satu tubuh jangkung tampak masuk ke perpustakaan.

Halah, pasti cuma buat kerjakan tugas literasi..Batin Gadis dan segera melengos, kembali tekuri buku yang sedang ia baca.

Sosok jangkung itu mulai  berkeliling. Tanpa sadar ia mengambil buku yang seharusnya tidak dipinjam. Novel klasik yang berharga. Tanpa sengaja, buku itu jatuh dari tasnya, dan saat ia menyadari, buku itu menghilang. Saat berbalik dan hendak mencari buku tersebut, satu sosok berdiri, bertampang garang, memegangi novel.

"Buku ini tidak diperpinjamkan!"Gadis memandang tajam sepasang mata di depannya.

Anehnya, sosok itu malah tersenyum tipis, "Ah, ketemu juga. Aku sedang mencarinya. Ingin kupinjam. Kenapa? Kamu berisik sekali. Setahuku perpustakaan bukan tempat mengobrol.."

"Berisik? Thanks to you! You is the noisy one! Dan kamu tidak seharusnya mengambil buku tanpa izin!" Gadis melotot, merasa marah.

"Kalau kamu peduli pada buku, kenapa tidak pernah meminjamnya?" Cowok kurang ajar ini masih membalas dengan nada sinis.

"Sebagai yang baru terlihat di sini sekarang, sangat tak sopan menganggapku belum membaca buku itu!" Kini, tujuh oktaf sudah suara Gadis.

Ketegangan di antara mereka semakin membara. 

Masih dengan nada tinggi, "Karena aku lebih suka membacanya di sini! Lagipula, kamu tidak akan pernah mengerti nilai sebuah buku."

"Wahai cewek kutu buku yang tidak punya hidup di luar perpustakaan...Aku, Gagah, mau buku ini! Sekarang!"

Tanpa bisa Gadis cegah, novel klasik kembali berpindah. 

Apa? Gagah? Gagah sang juara sekolah? Cowok yang setiap hari ia dengar setiap melewati bisik-bisik sekelompok teman ceweknya. Gagah yang itu?...

Ibu Sri, penanggung jawab perpustakaan, mendengar ribut-ribut mereka. Dengan senyum bijaksana, ia menghampiri. "Apa yang terjadi di sini, anak-anak?"

Gadis dan Gagah saling melirik sebelum Gadis menjelaskan dengan penuh emosi. Ibu Sri mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, "Setiap orang memiliki cara berbeda dalam menghargai buku. Gagah, kamu perlu lebih menghargai tempat ini dan semua usaha Gadis. Gadis, kamu juga harus memahami bahwa tidak semua orang memiliki minat yang sama. Kita bisa saling belajar."

Mendengar itu, Gagah merasa tersentuh. Ia jarang diajarkan untuk menghargai sesuatu yang di luar ambisinya. Gadis, di sisi lain, mulai menyadari bahwa Gagah juga memiliki pandangan yang berbeda meski mereka berlawanan. Meski baginya tetap terasa aneh, memaksa meminjam buku koleksi khusus yang hanya boleh dibaca di tempat.

***

Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, mereka mulai bertukar pandangan. Gagah sesekali mampir ke perpustakaan bukan hanya untuk meminjam buku, tetapi juga untuk berdiskusi dengan Gadis. Dia mulai memahami betapa mendalamnya dunia yang dihadapi Gadis. Dalam waktu bersamaan, Gadis melihat sisi lain Gagah yang tak pernah ia duga, seorang pemuda yang cerdas dan berambisi, namun juga membutuhkan bimbingan.

Mereka berdua sering kali terlibat perdebatan. Gadis menjelaskan makna dari setiap karakter dalam novel yang dibacanya, sementara Gagah menunjukkan cara menulis dengan teknik yang lebih baik. Ketika mereka berdebat, Ibu Sri selalu ada di samping, membantu menengahi dan memberikan pandangan yang seimbang.

"Gagah, kamu tahu tidak? Mungkin kamu bisa membuat buku sendiri suatu saat nanti," Gadis mengatakan suatu hari, senyumnya lebar.

Gagah tertawa. "Buku? Aku lebih suka berada di depan panggung daripada berada di balik layar."

Sungguh cowok over pride. Tapi, memang selalu juara kelas, dan kali ini, kebanggaan itu tampak indah. Pipi Gadis mendadak memerah tomat.. 

"Cobalah, itu bisa jadi pengalaman baru," Gadis meyakinkan. Gegas ia naikkan buku yang dipegangnya, menutupi wajah. Gagah tak boleh melihatnya tersipu begini.

Semakin mereka dekat, semakin sulit bagi mereka untuk menyembunyikan perasaan yang tumbuh. Rasa benci yang pernah ada mulai berubah menjadi rasa suka yang tidak terduga. Gagah mulai merasakan getaran di dalam hatinya setiap kali melihat Gadis dengan buku di tangannya. Gadis juga merasa berdebar setiap kali Gagah mendekat.

Pada akhirnya, setelah beberapa bulan saling mengenal, saat mereka berdiskusi tentang buku favorit mereka, Gagah memberanikan diri untuk mengatakan, "Gadis, aku tahu kita awalnya tidak cocok, tapi aku merasa kita telah belajar banyak dari satu sama lain. Mungkin... mungkin kita bisa melakukan ini lebih sering?"

Gadis menatap Gagah dengan mata berbinar. "Aku juga merasa begitu. Aku suka saat kita berdiskusi, bahkan saat kita bertengkar."

"Tapi ingat! Kamu masih punya banyak hutang padaku. Ibu Sri bilang, sekolah kita mendapat donasi banyak sekali buku bacaan baru. Kamu harus bantu aku selesaikan katalogisasi buku-buku itu. Janji?!...."

"Easy money easy candy....," Gagah menyambut tangan kananku, mengikuti dan merapatkan kelingking, lalu telunjuk dan terakhir dua ibu jari kami.

"Hih, janji apaaaannnnnn....," Gadis meningkahi celetukan Gagah, namun derai tawanya bersenada bersama gelak Gagah.

Ibu Sri mengintip dari balik rak buku dengan senyum penuh arti. "Aku tahu ini akan terjadi...Duh, untung perpustakaan sedang sepi..."

Sejak saat itu, perpustakaan tidak hanya menjadi tempat belajar bagi mereka, tetapi juga tempat di mana mereka menghabiskan waktu bersama, saling memahami, dan jatuh cinta dalam diam. Gagah dan Gadis, dua dunia yang berbeda, akhirnya menemukan harmoni di antara buku-buku dan ambisi mereka.

Dunia mereka yang bertolak belakang kini menjadi satu, saling melengkapi dengan cara yang paling indah. Perpustakaan bukan lagi sekadar tempat bagi Gadis atau sekadar ruang untuk Gagah mencari buku; perpustakaan menjadi saksi bisu dari sebuah cinta yang tumbuh di antara halaman-halaman yang terlipat.

*Selong, 25 September 2024

Cerpen ini untuk mengikuti Sayembara Cerpen Pulpen XX  di Temu Kompasiana.

Halo, saya Muslifa Aseani. Momblogger dengan 2 anak. Dokpri
Halo, saya Muslifa Aseani. Momblogger dengan 2 anak. Dokpri

Hai, saya Muslifa Aseani. Pernah begitu candu di kisah-kisah fiksi. Kini, mencoba kembali, langsung dengan mencoba mengadu ide cerita dengan peserta lomba lainnya. Salam kenal dan salam hangat dari Lombok Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun