Perlahan namun tegas, Bapak menuntun Ibu melafalkan syahadat. Asma akut ibu, menyerah juga terserang virus Covid19. Sekian hari perawatan ICU, ibu meminta pulang. Ibu ingin dekat dengan kami, ketika tubuhnya telah benar-benar kalah.
Ibu tersenyum. Segera setelah sepasang mata indahnya terpejam, aku dan Adit bertangisan. Keras. Tetap saja, luka dan duka ditinggal ibu, gagal terlepas meski sedu sedan kami sampai ke langit.
***
Rumah tetap saja tak seindah ketika ibu masih ada. Bukan kami tak berusaha. Sebulan dibantu seorang pembantu, Bapak memutuskan untuk sebisanya merawat rumah bertiga saja. Bapak yang hebat. Seribut apapun aku dan Adit berbagi tugas, ia tak pernah mengeluh atau menyerah dengan memarahi kami. Bapak yang berusaha menjadi pengganti ibu yang lembut, mencintai kami tanpa suara tinggi, apalagi umpatan dan bentakan.
"Wah, rumah kita wangi bener. Jangan-jangan ibu habis main seharian nih ke rumah kita...," Adit berputar, menari-nari dari ruang tamu, ruang keluarga, memasuki setiap kamar, sampai hempaskan tubuhnya di kasur kamarnya sendiri.
"Hayyoo, ingat pesan Ibu ndak? Harus bilang apa?"
"Terima kasih banyak kakak Andin, putri tepat waktu dan penerbang darat...Adit laff you pullllll..."
"Minggu depan giliran kamu lo Dit...Semua seprei, sarung bantal dan guling dicuci dengan pewangi kesukaan ibu. Semua lantai ruangan, juga dipel.."
"Hah! Yaaaa, kakak. Jadi rusak dah suasana surganya Adit.."
Aku tertawa keras, melihat Adit yang sontak duduk tegak di pinggiran tempat tidur. Punggungnya melengkung. Tarian dan senyum lebarnya sedetik tadi, lenyap.
Sambil tetap tersenyum, aku berjanji sendiri dalam hati. Adikku sholeh, tenang. Kakak takkan pernah benar-benar melepasmu sendirian. Kakak hanya menjaga nasehat ibu, kita berdua, semoga dimampukan seterampil ibu. Pelan-pelan. Sebisa kita. Bersama cinta Bapak yang masih temani kita di dunia.