Tiada duka yang lebih dalam dari kedukaan ditinggalkan ibunda. Dunia dan akhirat.
"Ibu bilang, nyapu itu sampai di bawah kursi, meja, lemari. Pokoknya sampai semua sudut!"
"Aduh Adit. Nggak sempat. Kamu gih, lanjutkan seperti yang dibilang ibu..."
"Kakak pemalas!!"
Aku benar-benar memang tak sempat. Teguran Adit pun kuabaikan. Seperti terbang, aku bergegas ke depan, menstarter motor dan mengulang kata 'terbang' kedua. Kegiatan di kampus akan mulai dua puluh menit lagi. Personal brandingku sebagai si ratu tepat waktu, tak boleh cacat sekali pun.
***
Ratu tepat waktu dan penerbang darat, dua julukan bagiku, dimana pun aku sekolah dan berkomunitas. Ingin kesempurnaan untuk selalu hadir tepat waktu, membuatku selalu juga serba terburu-buru. Julukan kedua, sangat kusyukuri. Berkat itu, aku, Adit dan Bapak, saling bergenggaman tangan, menemani ibu saat sakaratul maut. Empat bulan lalu.
"Seperti yang sering ibu bilang, Andin dan Adit jaga sholatnya dengan baik ya. Di awal waktu. Belajarnya juga sampai yang tingggiiii...," ibu terbatuk. Dadanya kembang kempis, mengatur nafas. Aku dan Bapak masih mampu tersenyum, mengelus punggung tangan ibu, menyatakan persetujuan. Isak Adit, bertindihan dengan pesan-pesan terakhir ibu.
"Saling sayang. Saling bantu. Ibu sangat bahagia, punya Bapak, Andin dan Adit. Ibu bisa pulang dengan tenang ..."