Spot wisata yang didatangi waktu itu, serupa kebun binatang mini. Setiap menyapa hewan-hewan yang ditemui, TGB wajib mengucapkan salam. Auto hati saya ikut merasa sejuk. Bahasa tubuh saat berinteraksi dengan Bunda Erica, juga putri beliau, jamaknya ayah kebanyakan. Ayah yang hangat. Ayah yang tak ragu bersentuhan dengan keluarga inti. Ayah yang menenangkan. Ayah yang dekat.Â
Putri beliau pun tetap tenang, ketika berkeliling dengan menaiki salah seekor gajah. Malah tampak asyik, ketika TGB menunjukkan ini dan itu, di atas punggung gajah. Bagi saya, penglihatan selama setengah hari eksplor spot wisata ini, terasa sekali buah dari setiap kajian-kajian yang disampaikan TGB di banyak kesempatan.
Tak banyak memang. Terakhir yang saya ingat, sambil lalu mendengarkan khotbah beliau, dari rekaman ulang khotbah saat perayaan milad Ormas NWDI. Lebih dikenal juga dengan Nadhatul Wathan, dengan basis terbesar di Pancor, Lotim. Kampus dan berbagai sekolahnya, tak sampai 3 km dari rumah saya.Â
Alhamdulillah, semoga berkat tema tulisan hari ini, saya bisa semakin rajin menyimak kajian-kajian TGB. Lalu, semoga pula, dari kajian-kajian tersebut, bisa saya teruskan ke teman-teman pembaca setia Kompasiana.
Bahwa, menjadi seorang ustadz atau ustadzah, tentu sangat benar jangan terlepas dari semua makna atau arti kata ini. Frasa yang cukup berat, mengingat sangat lumrah jika ada pengharapan berlebih, ketika kita disandingkan dengan 'gelar' ini.
Sedikit penutup, ketika mencari referensi di web Kemenag dengan kata kunci 'ustadz', tak banyak ulasan terkait sifat-sifat teladan umum yang sebaiknya dimiliki seorang ustadz atau ustadzah. Bahkan saat tergoda membaca ulasan tentang Ustadz Duta Moderasi Beragama, sekitar 10 paragraf tulisan lebih menitikberatkan pada proses acara dan penyematan gelar. Dua kondisi yang membuat sang ustadz menjadi duta: 'Mensyiarkan Islam yang Rahmatan Lil 'alamin dan Islam yang damai'.
Jadi teringat kembali, salah satu tema Dialog Kebangsaan beberapa waktu lalu. Program Moderasi Beragama yang digalakkan Kemenag, menyasar 'ummat' yang waktunya kini lebih banyak tersita di media sosial (medsos). Medsos yang mana? Merujuk ke update dari Hootsuite yang sering dipergunakan di modul-modul literasi digital, medsos seperti Instagram, Tiktok, Youtube, Facebook atau Twitter.
Jadi, masih sulit menemukan rujukan resmi, mungkin yang dikeluarkan MUI (Majelis Ulama Indonesia), tentang batasan ideal seseorang layak 'diceluk' ustadz atau ustadzah. Atau bisa jadi, saya pribadi yang 'mengaji'nya masih kurang jauh. Untuk ini, saya tunggu ajakan mengaji, kemana, dengan siapa, online atau offline, ke ustadz atau ustadzah yang mana. InshaAllah, aamiin.
Alhamdulillah berikutnya, tepat ketika saya merasa hendak mencukupkan tulisan ini, ada satu rujukan baik yang saya temukan di web MUI. Jika salah mengutip, tentu karena kelemahan ilmu agama saya, jadi, ijinkan saya mengutip keseluruhan kalimat nggih. Semoga kebaikan dari kutipan inilah yang sampai ke sidang pembaca:
...