Rasanya belum berhasil mengulang kesan hangat, berbuka puasa beramai-ramai di masa kecil dulu. Saat itu, saya yang enam bersaudara, sedang sekolah semua. Si bungsu, satu-satunya yang balita. Saya dan kakak sulung, hanya selisih umur satu setengah tahun. Anak ketiga di bawah saya, selisih 4 tahun. Lalu selisih masing-masing 2 tahun dengan yang ke-4 dan ke-5. Ramai!
Setiap menjelang berbuka, kami semua sudah duduk melingkar. Almarhum bapak seorang guru SMP. Mamak, ibu rumah tangga yang full di rumah. Lalu, ada almarhumah nenek dari garis ibu. Jadi, sekali duduk, kami berbuka bersembilan orang. Ruang makan praktis tak bisa lagi menampung apa pun. Ruangan seluas 12 meter persegi, hanya bisa digelari tikar atau hambal. Usai berbuka, kami semua langsung menyambungnya dengan Maghrib berjemaah.Â
Menu Serba Baskom Di Setiap Iftar Ramadhan
Hahaha. Iya, literally baskom. Maksudnya, menu-menu berbuka kami diwadahi di baskom, saking banyaknya. Jaman dulu, ya masih cantik-cantik si, walau baskomnya dari besi. Ada yang putih bersih, berhias kembang warna-warni. Ada juga yang merah menyala dan polos. Biasanya, baskom ini berisi sayur mayur. Paling sering, bahkan wajib, Pelecing Kangkung Lombok dan urap sayur. Lain waktu, pecel atau Olah-Olah (mirip pecel, tapi toppingnya santan pati kental dengan bumbu rempah khas Lombok).
Kalau saya ingat-ingat, serba tandasnya semua menu, karena antara masakan Mamak memang enak dan kami yang memang lagi rakus-rakusnya makan. Makin ramai jika Mamak berkesempatan memasak kolak. 9 mangkok pun turut berderet melingkar. Agak berbeda jika takjilnya kue-kue. Biasanya cukup disajikan di satu atau dua piring, lalu si piring estafet. Kami ambil jatah sesuai kebutuhan.
Rindu Keliling Kampung Pamer Dile Jojor
Yang ini, biasanya setelah tarawih dan di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beberapa rumah tetangga berhalaman luas, paling sering kami datangi. Kadang, pas sedang super aktif, tangan kiri bawa 10 tusuk Dile Jojor, yang kanan bawa 5 dan satu tusuk yang sedang menyala.
Iya, Dile Jojor itu semacam lilin alami. Waktu itu, kami anak-anak usia sekolah SMA ke bawah, beramai-ramai membuat lilin alami ini sendiri. Mulai dari berburu biji jarak ke hutan, memecahnya, menghaluskan dan menjadikannya bertusuk-tusuk lilin. Sabar menunggui proses penjemuran sampai bakal lilin kering, lalu bersorak gembira ketika lilin mudah menyala. Berkat kering sempurna dijemur langsung di bawah matahari.
Sekarang, kira-kira, anak-anak saya akan punya kenangan apa ya? Â
*Selong, 19 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H