Dulu saat belum menikah, momen berbuka saat Ramadhan adalah momen makan 'begibung'. Memang tidak seperti yang sempat tren beberapa waktu lalu, menyajikan makanan di piring besar, nampan, atau daun pisang sepanjang meja. Begibung, karena semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Enam bersaudara, dengan rentang umur 5 saudara terasa, jeda 2 tahun. Plus si bungsu yang juga sudah SD, ruang makan sudah terasa penuh. Sesekali, nenek saya (dari garis ibu) juga nimbrung.
Ibu wajib membuat pelecing kangkung satu nampan atau baskom besar. Iyap, baskom besi yang loreng-loreng hijau. Atau baskom bercat merah dengan hiasan kembang. Sekali seminggu, ibu mau bersusah payah mengulek kacang tanah goreng. Pelecing kangkung diganti pecel kacang panjang, tauge dan taburan bawang merah yang banyak. Yang paling lezat dari menu sayuran pengganti pelecing kangkung, olah-olah. Santan pati kental dengan bumbu khas, menjadi saus sambal dari kangkung, kacang panjang dan tauge rebus.
Entah kenapa, menuliskan ulang ini, berbagai jenis lauk terasa tak penting. Lauk pauklah pelengkapnya. Yang utama, pelecing kangkung, pecel atau olah-olah ini. Selalu tandas tak bersisa.
Entah sejak kapan, saya lebih suka memasakkan sayuran serba chinese food. Cha bayam dengan udang atau bakso, pun sesekali sosis siap masak. Berbagai sayur mayur di capcay kuah. Paling 'rendah kasta'nya, ya soup :D
Nah, untuk lidah default pedas, sambal kering dari berbagai bahan. Misal tempe, tahu, udang, ikan laut, daging ayam dan daging sapi (maksimal sekali sebulan). Bagaimana ya, saya itu golongan ibu-ibu yang cuma nikmat membaca resep. Bukan yang pintar mempraktekkan dan komit memadu-madankan di setiap menu harian. Memasak sendiri itu ibarat jadwal ngetrip. Syukur-syukur di setiap hari libur bekerja. Alhamdulillah, khusus di puasa, saya mewajibkan diri memasak sendiri menu berbuka dan sahur.