Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pasukan Pembangun Sahur

22 Mei 2018   09:15 Diperbarui: 22 Mei 2018   09:28 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekarang sudah 7 tahun, Yusuf Alfa tak lagi pengagum berat Pasukan Pembangun Sahur. Dokpri

Kembali dari Semarang dan menetap lagi di kampung kelahiran saya di empat tahun lalu, banyak hal yang berubah. Jalan-jalan yang melebar, menyebabkan rumah-rumah tetangga yang dulu kerap menjadi tempat bermain, tampak mungil. Pagar-pagar beluntas atau pohon banten berubah menjadi beton atau besi. Tanah-tanah lapang sisakan sedikit tanah berumput, di mana sisanya berupa paving block. Tanah keras yang beralih fungsi menjadi lapangan olahraga. Ada basket, bulu tangkis atau volley. Sebagian ujung yang lain, menjadi panggung, lebih kerap bisu.

Sangat terlihat di kampung saya, Kebontalo, satu sudut tenggara di kota Selong Lombok Timur. Tanah lapang yang saya sebut di atas, bernama Lapangan Nasional. Sekarang, lekat pula sebagai penunjuk lokasi dapatkan serabi terenak di kota Selong. Coba saja cari serabi lak-lak Lombok Timur. Nah, di situ pula salah satu tanah lapang yang lekat dengan kenangan saya di hampir setengah abad ke belakang.

Numpang mejeng ah, ada Rinjani yang cantik soalnya :D :P. Dokpri
Numpang mejeng ah, ada Rinjani yang cantik soalnya :D :P. Dokpri
Perubahan berikutnya, kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat. Di lingkup lebih kecil, kebiasaan-kebiasaan di lingkungan terdekat saya. Hitung saja satu RW atau Rukun Warga. Biasanya terdiri atas beberapa RT (Rukun Tetangga). Bisa juga dihitung kumpulan tetangga dari puluhan rumah terdekat, searah penjuru angin.

Salah satu yang paling terasa, saat Ramadhan tiba.  Mengingat kini saya harus memasak sendiri bagi keluarga kecil saya, praktis cukup jarang saya melakukan tarawih di masjid terdekat dari rumah. Sesekali, mengobati kangen dengan kenangan masa kecil, saya menyertai suami dan anak-anak, tarawih atau sholat Subuh berjemaah.

Anak-anak memang selalu menjadi sumber banyak hal, kebahagiaan, harapan-harapan indah, juga kelucuan-kelucuan di bulan puasa. Satu yang masih lekat di ingatan saya, masih dan tentang putra bungsu saya.

Sudah sangat jarang menonton tv, saya agak sangsi dengan perkiraan, satu kebiasaan baru cara membangunkan sahur di tempat saya terinspirasi salah satu programnya. Iyap, anak-anak remaja tanggung, mulai dari siswa SD, SMP dan SMA ternyata kini menjadi 'pasukan' khusus. Pasukan yang bertugas membangunkan semua warga Kebontalo untuk segera Sahur. Tugas yang serius, karena mereka harus berkeliling sekitar 2 gang besar ditambah 5 gang kecil.

Bukan tanpa tantangan pula. Seperti tiga malam lalu, saya yang sudah setengah terbangun, mendengar seorang bapak keras menghardik mereka (khas dengan suara bariton nan berat). Wah, mungkin bapaknya sedang migren ya. Alih-alih senang dibangunkan sahur, bisa jadi beliau yang baru saja mau terlelap, terkaget-kaget dan akhirnya jadi esmosi jiwa. Untung belum puasa, puasa sesebapak gagal batal deh. *eh

Pasukan khusus ini  pula yang sukses berperan aktif mendukung gerakan pembelajaran puasa putra bungsu saya. Saat berumur 5 dan 6 tahun, selang 1 dan 2 tahun lalu, pasukan ini menjadi pasukan berani mati saya. Eh, keliru. Tepatnya, Yusuf Alfa (putra bungsu saya), amat sangat terkagum-kagum dengan aksi para pasukan pembangun sahur.

Sekarang sudah 7 tahun, Yusuf Alfa tak lagi pengagum berat Pasukan Pembangun Sahur. Dokpri
Sekarang sudah 7 tahun, Yusuf Alfa tak lagi pengagum berat Pasukan Pembangun Sahur. Dokpri
Pukulan --lebih sering tak beraturan, dari ember cat, botol beling, bambu dan entah apa lagi, terasa sangat merdu di  telinga Yusuf Alfa. Entah mana yang berikan pengaruh ekstasi lebih besar, keberhasilan menonton langsung 'performance' pasukan ini, atau menikmati langsung 'skill' bermusik mereka. Saya dan suami yang terbiasa menyetel alarm di waktu satu setengah jam sebelum imsak, terkaget-kaget. Jam berapa pun satu pukulan pertama pasukan pembangun sahur terdengar, Yusuf Alfa terbangun bak disengat kalajengking. Jenggirat! Langsung merapat ke jendela, menyibak gorden dan menunggu diam.

"Bunda! Bunda! Lihat! Itu anak-anak yang mbangunin sahur sudah lewat. Cepetan bangun, bunda!"

Ajiiib.

Saat pertama ini terjadi, entah saya harus ikut terkagum-kagum atau sesak nafas menahan tawa yang meledak. Tawa yang harus saya redam selama dua kali puasa, alias dua tahun. Cek and ricek, ternyata, saat itu Yusuf Alfa sedang 'bertarung' dengan sepupunya yang sebaya. Mereka 'balapan', seberapa banyak berhasil bangun dan menyaksikan langsung pasukan pembangun sahur beraksi.

MasyaAllah, baiklah. Meski saya tak tahu hasil akhir 'balapan', saya tetap harus berterima kasih. Demi Yusuf Alfa tak perlu dibangunkan susah payah setiap sahur, karena Jenggirat! Ia akan langsung  bangun sendiri, langsung berdiri di dekat jendela, memastikan musik pasukan pembangun sahur benar-benar sudah sayup. Penanda mereka sudah berjarak satu blok dari rumah. Begitu terus, hampir sebulan puasa penuh. Alarm yang, begitulah ..

Tahun ini? Tak ada balapan. Pasukan pembangun sahur masih eksis. Namun, Yusuf Alfa harus saya bangunkan dan baru berhasil saat nasi di piring habis setengahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun