Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[100HariMenulisNovel] #30 ALUY

18 April 2016   12:45 Diperbarui: 18 April 2016   13:00 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="DokPri: Kabut Pagi."][/caption]

Rahasia besar jurang hubungan Baiq dan ibunya terkuak.

(Epilog Aluy 29)

“Aku pembunuh mas. Ibu bilang aku pembunuh. Aku membunuh pamanku. Kau dengar juga kan mas?!”

“Sudah. Sudah. Ibu mungkin hanya marah…”

“Itu bukan kemarahan. Ibu mengatakannya dengan sadar,” terengah-engah, aku berbantahan dengan mas Bagas. Sedan dan keterkejutan hebat masih menguasaiku.

“Maksud ibu mungkin ibu kena baby blues. Kau ingat kelahiran Fairuz?...”

“Tapi aku juga membunuh pamanku? Dan sekarang aku tiba-tiba juga punya paman?...”  Sedanku mengeras. Menggugu di pelukan mas Bagas.

“Maaf. Aku juga benar-benar tak tahu itu. Nanti kita tanyakan Paman Muis ya,” mas Bagas menghiburku lembut.

“Aku tahu.”

Aku mengangkat wajahku yang basah. Ranti masih belum pulang. Kalut, aku tak sadari ia yang mengekorku dan mas Bagas masuk ke kamar. Aku tak tahu di mana anak-anak.

“Kak Putri boleh percaya ceritaku atau tidak. Hanya saja, aku tak sangka harus ceritakan sekarang. Bapak yang ceritakan padaku…”

“Apa yang kamu tahu? Tahu kalau aku hampir membunuh ibu? Membunuh pamanku?” Suara dan tubuhku masih bergetar hebat.

“Ya. Dan mas Bagas benar. Ibu kak Putri alami baby blues parah. Beliau berjuang tiga tahun untuk bisa benar-benar sanggup menyentuh kakak.”

Tuhan, selama itu?

“Di tiga tahun pertama itu juga, satu-satunya adik lelaki beliau meninggal. Kecelakaan saat belikan obat buat kak Putri yang sakit.”

Beranjak dekati aku dan mas Bagas, Ranti lanjutkan ceritanya.

“Bapak ceritakan itu semua ketika aku siap buka praktek pengacara. Beliau meminta tolong agar aku siap membantu kak Putri, nanti, ketika akhirnya kita harus bertemu. Seperti sekarang.”

“Jadi benar aku punya paman?”

“Benar. Tapi aku tak tahu, kalau kak Putri sama sekali tak mengenalnya.”

Keheningan menggantung. Sesekali hanya ada suara isak tertahan dan bersitan hidung. Milikku. Mas Bagas dan Ranti bergantian genggam tanganku. Duduk berderet di tempat tidur hotel, otakku terlalu lelah untuk pertanyakan apa pun lagi.

“Istirahatlah dulu saja. Besok kita harus terbang. Atau kita tarawih sekarang? Ranti juga?”

“Iya. Kak Arya dan anak-anak sudah pulang duluan. Aku memilih tidur di sini. Yuk, tarawih delapan rakaat saja?”

Aku mengangguk lemah. Tak ada yang lebih menenangkan lagi selain kepasrahan terwakil pada sujud ke pemilik semesta.

 ***

“Tolong ceritakan lebih banyak lagi. Mumpung ada mas Bagas, sekalian kami tahu siapa Galih dan Paman Jagat.”

“Seperti yang aku bilang tadi, Paman Jagat meninggal saat kak Putri masih berusia dua tahun. Saat itu, Galih masih bayi merah.”

“Kamu bilang aku sedang sakit saat paman Jagat meninggal?”

“Masuk ICU bahkan. Almarhum bapak tak ceritakan jelas sakit apa. Beliau hanya bilang, ibu kak Putri semakin terpukul. Terapi psikologis tanpa henti membuatnya mulai mau menerima kak Putri, namun kematian paman Jagat memaksanya mengulang lagi dari awal.”

Sesaat aku ingat perjuanganku sendiri dekati Fairuz. Kelembutan mamah Widya yang luar biasa, cinta dan kasih sayang tak berbatas dari mas Bagas, aku sembuh dan berhasil berikan ASI pada Fairuz sampai ia berusia dua tahun. Tiga bulan aku dipisahkan total dari Fairuz. Namun mamah Widya berkeras menungguiku demi ASI perah yang diberikannya pada Fairuz di kamar terpisah.

“Tentang baby blues ibu, bapak telah ceritakan padaku di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas. Beliau memohon maklumku, hanya bisa untukku satu hari saja dalam sebulan. Beliau ingin memastikan, jarak antara kak Putri dan ibu teredam sempurna.”

“Aku minta maaf,” refleks aku berucap.

“Tak apa-apa. Bapak juga yang meyakinkan aku, kak Putri dan aku sangat mirip di banyak hal. Jadi, lama atau sebentar, ketika kita akhirnya bertemu, kita akan sangat mudah saling menyukai.”

“Almarhum bapak benar,” lirih, kali ini mas Bagas yang refleks berucap.

“Ya.”

“Galih? Kamu pernah bertemu Galih?”

“Belum. Aku tahu namanya dari cerita-cerita bapak juga. Tapi bapak sama sekali tak ceritakan padaku kalau kak Putri tak mengenalnya,” kedikkan bahu, Ranti sadar tak bisa ceritakan lebih banyak lagi tentang Galih. Adik sepupuku.

--Bersambung--

*Selong 15 April

Rangkaian cerita sebelumnya: ALUY - Bab 1: KEPERGIAN.

#21 | #22 |#23 | #24 | #25 | #26 | #27 | #28 | #29

Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun