Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[100 Hari Menulis Novel] #8 Aluy

22 Maret 2016   12:39 Diperbarui: 22 Maret 2016   12:58 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tantangan 100 Hari Menulis Novel-Fiksiana Community (Skrinsot)"][/caption]

Samar-samar aku menangkap garis senyum yang begitu akrab. Tetiba dua alisku terangkat, itu senyumku. Tak sama persis memang. Tapi saat berhadapan dengannya, aku merasa bercermin. Terutama jika kami berdua sama tersenyum. Aku menjadi tak ingin tersenyum. Tidak di saat ini.

(Epilog Aluy 7)

“Panggil saja saya Ranti. Saya tak akan berbasa-basi. Saya adik kak Putri. Adik tunggal. Lain ibu tentunya. Ibu saya meninggal sepekan selepas Lebaran tahun lalu. Saya terpaksa mengabarkan ke bapak dan seminggu setelah bapak meninggal, saya bertemu ibu kak Putri. Sore ini baru pertemuan pertama untuk pertemuan panjang lainnya. Mudah ditebak, tentu saja untuk membahas warisan bapak,” urainya panjang lebar.

Baguslah tak ada basa-basi, batinku. Rasa-rasanya hubunganku yang tak terlalu baik dengan ibu menjadi semacam pelatihan emosi yang menyiapkanku hadapi momen begini. Poligami begitu jamak di tanah kelahiranku. Mengetahuinya lebih awal atau ketika selepas salah seorang dari orang tua  meninggal, hanya masalah pilihan waktu.

“Bapak ternyata telah menyiapkan semuanya dengan baik dan dengan sepengetahuan ibu kak Putri. Satu map tebal ini berisi kopi surat-surat tanah yang sudah dialih-namakan sesuai surat wasiat bapak almarhum. Saya tidak mempermasalahkan satu pun dari surat-surat tersebut, karena bapak almarhum sungguh-sungguh menjaga nilai adil. Dasar hukum juga agama sudah dipergunakan. Pertemuan-pertemuan berikutnya saya rencanakan jika kak Putri masih membutuhkan info tambahan. Map ini bisa kak Putri bawa.”

Di perjalanan kembali ke rumah, aku baru sadar tak ucapkan satu kata pun selama pertemuan tadi. Pertemuan keluarga? Mengingat kami bertiga sedarah. Pertemuan formal dengan pengacara? Pengacaranya ternyata adik kandungku. Semalaman aku hanya sibuk mendiamkan diri. Membekukan otak dan rasaku.

 ***

“Aku sama anak-anak sampai di Lombok dengan pesawat malam. Ada yang harus aku bawakan? Aku mengambil cuti Kamis dan Jumat, karena Senin harus menghadiri meeting penting di kantor. Semoga ibu tak keberatan aku tak ada pas peringatan empat puluh hari almarhum bapak ya.”

“Tolong bawakan sepuluh paket gudeg Yu Djum saja mas. Ada beberapa keluarga dekat yang meminta oleh-oleh makanan itu. Lima set gamis juga. Para bibi memaksa mau diberikan gamis yang kupakai. Terimakasih ya..”

Aku tak bisa sampaikan kejutan dari kejadian sore kemarin. Sisi baiknya, tiga anakku memiliki bibi, mungkin juga beberapa sepupu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun