“Ibu minta maaf, tak segera memberitahukanmu tentang Ranti.”
Percakapan pembuka di meja makan. Tadinya aku akan bergabung dengan para bibi dan sepupu jauh yang ramai-ramai sarapan di gazebo belakang. Tapi karena meja makan kosong dan aku masih begitu enggan membicarakan apa pun, akhirnya aku menarik salah satu kursi. Makan dengan diam. Ternyata ibu justru sengaja menungguku, menyeret kursi di sampingku dan langsung bicara. Untuk almarhum bapak, untuk anak dari istri yang tak diketahuinya, Ibu meminta maaf. Ibu sama terkejutnya denganku.
“Ibu juga hanya bisa diam. Ibu semakin diam saat almarhum bapakmu langsung menunjukkan semua wasiatnya. Ranti dan ibunya hanya diwasiatkan rumah dan tanah yang mereka tinggali di Mataram. Tak satu meter pun dari semua tanah yang ibu ketahui dan urus selama menjadi istri almarhum bapakmu diberikan pada mereka.”
Paman Muis dan bibi Maryam sungguh pandai menjaga rahasia. Aku yakin, sebenarnya mereka sudah mengetahui semua yang diceritakan ibu.
“Ibu tak perlu meminta maaf. Ranti juga sudah tegaskan persetujuannya.”
“Apa ada yang ingin kamu tanyakan dari berkas-berkas di map yang kamu bawa?..”
“Maaf ibu. Aku bahkan belum membukanya sama sekali. Kukira membahasnya dengan mas Bagas dulu, baru kusampaikan ke ibu,” keenggananku mengental dengan berani menyela pembicaraan ibu.
“Ya, begitu juga tidak apa-apa.”
--Bersambung--
*Selong 22 Maret
#ALUY 1 | #ALUY 2 | #ALUY 3| #ALUY 4 | #ALUY 5 | #ALUY 6 | #ALUY 7