Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Manusia Pecinta Kata #1

18 Desember 2015   21:26 Diperbarui: 30 Agustus 2016   10:05 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto

Seberapa banyak kau mengingat kisahmu yang tertinggal di bumi?

Sewindu lagi, nyawaku hampir seperempat abad. Nyawa dengan ingatan yang masih juga tak penuh, meski bahkan sekian ratus kisah dari lima tahun pertamaku yang keemasan tak terganti. Pun ketika ribuan syarafku terlibat di setiap orgasme. Orgasme tak bernama di pemahamanku yang terlalu pagi, orgasme yang berbalas janji keindahan surga di kehidupan paling akhir, pun orgasmeku ketika berasyik masyuk bersama-sama kata.

Duniaku tak pernah terlalu sempit ketika berkubang di lautan kata. Tak perlu harus sepaham dengan mereka yang berlindung di ujar-ujar 'Buku adalah jendela dunia'. Bersama kata, duniaku sungguh tak bersekat. Tak ada palang, gerendel pun seset kunci. Tidak tirai-tirai berbagai warna serta kain tebal termahal pilihan si ratu rumah, penutup jendela. Tak pun perlu miliki ilmu setinggi para kyai, tampakkan bakti di shaf sholat dua masjid beda negara.

Bersama kata-kata, ayun kaki jenjangku ringan di pedestrian merah bata, tenang di hilir mudik kotak-kotak mesin berbagai nama. Sekali waktu, setengah kakiku basah oleh embun yang enggan mengering di ujung rerumputan ketinggian tanah sekian ratus meter.

Bersama kata-kata aku menggantung di setiap titik warna yang kusuka pada pelangi. Tak kan penting dimana ujung dan akhir warnanya, karena wujudku merupa-rupa kuning, sesekali melebur hijau. 

Bersama kata-kata aku menjadi perempuan di seribu satu karakter.

Dengan kata-kata, tak pernah lagi penting mewujud apa, dimana bahkan siapa.

***

Pernikahan Bagi Pecinta Kata

"Aku tak segan membakar semua buku dirumah ini. Aku nikahi kau bukan untuk kau selingkuhi dengan huruf-huruf tak penting itu!"

Demi semua huruf penjalin kata-kata yang kucintai, aku hanya tergugu. Renggut kasar dan lemparan kusaksikan bisu. Lubang dihatiku tak penting, jika ia ada untuk tetap hidupnya kata-kata.

Lubang-lubang berikutnya yang kemudian terisi penuh oleh keyakinan, kesukaannya pada olah kata yang membuatnya cintaiku, satu hari nanti akan mengeras. Atasi ketakluk-kalahnya ketika sepiring makan malamnya yang terlambat demi aku pastikan di kata yang mana aku jenakkan berbait-bait puisi. Pun saat segelas kopi hitamnya tak segera uarkan wangi ketika sepasang pecinta di roman yang kunikmati ingin kutemani di engah orgasme mereka.

***

 Pecinta Kata dan Ibunda

"Masih tak cukup kau dikatai Atheis oleh ayahmu?! Kau membuatku menjadi istri yang cintanya diragukan oleh ayahmu! Sembahyanglah dulu, genapkan rakaatmu. Hidupkan tubuh berisi jiwamu dengan sedikit makanan yang telah kumasakkan. Barulah kau cumbui peluk lagi itu kata-kata. Aku ibumu, bahkan tanpa menjadi buku, akulah kata-kata pertama bagimu.."

Ampuni aku ibu, terlalu dalam dengan percintaanku bersama kata. Sungguhlah kebenaran semata milikmu, engkaulah kata pertama yang mencintaiku, kucintai, namun sulit kujaga sampai besar begini.

Tidak ketika jawabmu atas gelisahku pada tetes-tetes darah yang mengantarku pada kedewasaan, kau timpali dengan tawa. Kata-katalah yang temaniku dengan setia, tak selalu keliru untuk langkahku yang aneh ketika tetes-tetes darah berlomba tinggalkan tubuhku, entah bersama pertanda sakit pun sekedar marah tak perlu.

Pun tidak ketika setiap sosok yang kucintai berdasar kata-kata, adalah justru mereka yang selalu tak sempurna bagimu. Sosok-sosok yang memujaku, balasan atas puja pertamaku pada mereka, melalui kata-kata.

Ampuni aku ibu, cintaku padamu kini kuwakilkan pada kesunyian. Harapan lirih pada rintih di tiga bagian keheningan yang hanya aku dan Tuhanku bersama tahu, keheningan yang mana, demi apa. 

Ampuni aku ibu, simpan satu kata yang kita cintai bersama, semoga bisa kuucap, entah di akhir hidupku pun mungkin akhirmu.

*Selong 18 Desember

Tulisan ini tertuang pertama kali di ranah www.kompasiana.com dalam genre 'Novel', namun disajikan bersambung karena keterbatasan penulis selesaikan  olah diksi yang panjang dalam satu kali saja proses kreatif.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun