Demi semua huruf penjalin kata-kata yang kucintai, aku hanya tergugu. Renggut kasar dan lemparan kusaksikan bisu. Lubang dihatiku tak penting, jika ia ada untuk tetap hidupnya kata-kata.
Lubang-lubang berikutnya yang kemudian terisi penuh oleh keyakinan, kesukaannya pada olah kata yang membuatnya cintaiku, satu hari nanti akan mengeras. Atasi ketakluk-kalahnya ketika sepiring makan malamnya yang terlambat demi aku pastikan di kata yang mana aku jenakkan berbait-bait puisi. Pun saat segelas kopi hitamnya tak segera uarkan wangi ketika sepasang pecinta di roman yang kunikmati ingin kutemani di engah orgasme mereka.
***
 Pecinta Kata dan Ibunda
"Masih tak cukup kau dikatai Atheis oleh ayahmu?! Kau membuatku menjadi istri yang cintanya diragukan oleh ayahmu! Sembahyanglah dulu, genapkan rakaatmu. Hidupkan tubuh berisi jiwamu dengan sedikit makanan yang telah kumasakkan. Barulah kau cumbui peluk lagi itu kata-kata. Aku ibumu, bahkan tanpa menjadi buku, akulah kata-kata pertama bagimu.."
Ampuni aku ibu, terlalu dalam dengan percintaanku bersama kata. Sungguhlah kebenaran semata milikmu, engkaulah kata pertama yang mencintaiku, kucintai, namun sulit kujaga sampai besar begini.
Tidak ketika jawabmu atas gelisahku pada tetes-tetes darah yang mengantarku pada kedewasaan, kau timpali dengan tawa. Kata-katalah yang temaniku dengan setia, tak selalu keliru untuk langkahku yang aneh ketika tetes-tetes darah berlomba tinggalkan tubuhku, entah bersama pertanda sakit pun sekedar marah tak perlu.
Pun tidak ketika setiap sosok yang kucintai berdasar kata-kata, adalah justru mereka yang selalu tak sempurna bagimu. Sosok-sosok yang memujaku, balasan atas puja pertamaku pada mereka, melalui kata-kata.
Ampuni aku ibu, cintaku padamu kini kuwakilkan pada kesunyian. Harapan lirih pada rintih di tiga bagian keheningan yang hanya aku dan Tuhanku bersama tahu, keheningan yang mana, demi apa.Â
Ampuni aku ibu, simpan satu kata yang kita cintai bersama, semoga bisa kuucap, entah di akhir hidupku pun mungkin akhirmu.
*Selong 18 Desember