[caption caption="Tantangan 100 Hari Menulis Novel-Fiksiana Community (Skrinsot)"][/caption]Jumat pagi yang basah. Setiap helai rambutku masih terbungkus handuk. Setiap helai bulu di dua pinggiran kelopak mataku sama basahnya. Bahkan jika aku tak beroleh satu pun harta bapak dan ibu, aku masih akan percaya cinta mereka sedikit pun tak berkurang. Nyatanya, rumah besar mereka telah resmi dibuatkan akta atas namaku. Satu-satunya syarat yang diminta almarhum bapak, membebaskan ibu memilih, tetap tinggal di rumah ini atau membangun rumah baru di tanah empat hektar di samping barat rumah. Tiga anak-anakku bahkan sudah beroleh sertifikat tanah atas nama mereka sendiri.
“Aku tak tahu harus bersikap bagaimana,” suara mas Bagas menggantung.
“Bapak dan Ibu tak pernah mengajak kita membicarakan ini.”
Sosok mas Bagas di ujung tempat tidur mengabur oleh pupil mataku yang masih membanjir. Aku tak benar-benar pahami, penyebab utama kesedihanku. Yang kutahu, kuharap airmata lapangkan lagi ruang dadaku. Perlahan aku sodorkan satu kopi surat wasiat bapak lainnya. Nama lengkap ibu, juga Ranti. Aku tak lagi putri tunggal.
“Namanya Ranti. Dia juga putri tunggal. Ibunya, istri kedua almarhum Bapak. Adik iparmu, mas,” susah payah aku selesaikan pengenalan sepihak sosok Ranti.
Mas Bagas tersentak. Sekian detik mulutnya membuka, mengatup tanpa satu kata pun berhasil terucap. Ia beranjak mendekatiku. Membenamkan wajahku ke dada bidangnya.
“Cukup. Kita bicarakan ini semua lain waktu.”
Sepanjang pagi itu aku hanya berdiam di kamar. Anak-anak membawa gadget mereka, bermain di ujung tempat tidurku. Mas Bagas bahkan settingkan laptopnya terkoneksi dengan televisi LED 32 inchi di kamar ini, membebaskanku berselancar apa pun. Aku memilih menikmati koleksi film-film thriller horror dengan headset. Sekali waktu aku tersenyum, ketika salah satu anak-anakku mencuri pandang ke televisi dan hanya bisa mengerling padaku. Akhirnya mereka berpindah ke sisi atas tempat tidur, lanjutkan bermain gadget dengan membelakangi televisi.
Sekali ibu menjenguk ke kamar. Demi tatapi mata sembabku, ibu diam dan kembali keluar tanpa katakan apa pun. Sedetik aku menyadari, aku mewarisi sikap diam ibu saat merasa gagal bersikap atas satu kondisi yang pelik.
***
Reaksiku masih jauh lebih baik dari mas Bagas. Puluhan tahun berselang.