[caption caption="DokPri: Mawar putih Bandungan Semarang."][/caption]
Dua kali peroleh peringatan ibunya untuk tak dekati Ranti, Baiq malah berharap: ‘Malam itu aku bermimpi, dua mug kopi hitam tanpa gula, temani obrolan panjangku bersama Ranti.’
(Epilog Aluy 24)
“Kalau misalnya Bagas tak bisa temani kalian di hari-hari awal puasa nanti, bagaimana kalau kita undang Ranti sekeluarga untuk buka bersama di rumah?”
“Oh. Ya? Ibu mau begitu? Nggak masalah, nanti biar aku yang telpon Ranti dan mengundangnya. Hari pertama atau hari kedua puasa Bu?”
“Hari kedua saja. Kalian bisa menginap sampai tiga hari kan? Atau tawari saja salah satu dari tiga hari tersebut. Nanti biar Muis yang antar jemput biar mereka tak repot…”
“Baik bu.”
“Sudah ya. Ibu menelponmu hanya untuk kabarkan ini. Jangan sampai lupa mengabari Ranti. Puasa tinggal beberapa minggu lagi.”
“Baik bu.”
Pasti aku mematung cukup lama. Hanya pandangi gawaiku yang tak sadar kuletakkan begitu saja di meja dapur. Teringat sesuatu, cepat kuraih gawai dan cek log telpon. Benar, ada daftar telpon masuk dari no ibu.
“Bu, siang ini jadi memasak gudeg? Gorinya sudah saya siapkan, juga bumbu-bumbu,” bibi Ratmi berbicara dari balik punggungku.
“Gudeg? Oh ya! Di masak saja bibi. Biar cepat lunak, gorinya dipresto saja.”