[caption caption="DokPri: Halimun Pagi di Kempo, Dompu NTB."][/caption]Aluy benar. Sudah bertemu dua kali, memiliki foto keluarga, mengapa masih sungkan pada Ranti? Bagaimana berikan kado ultah jika tak tahu hari lahirnya samasekali?
(Epilog Aluy 16)
Pagi kedua di Malang, aku dan mama mertua terbiasa bertukar sapa selepas sarapan. Beliau sangat mencintai aktivitas memasak. Bagaikan langit dan bumi denganku. Aku tumbuh sebagai anak perempuan yang hanya tahu bermain dan belajar. Kegiatan di dapur hanya sebatas meracik kopi favoritku. Meski setelah memiliki tiga anak sekali pun, menu-menu makanan di keluarga kecilku hasil masakan asisten. Menu-menu tergantung selera. Selera yang terbentuk dari makan bersama di resto ini, gerai fast food itu, warung-warung lesehan dan berbagai jenis kuliner ketika rutin mudik ke Lombok serta Malang atau saat rekreasi rutin di selain dua daerah tersebut.
“Mah, maaf karena sempat menunda cerita ini...”
“Cerita apa?”
“Putri punya adik tiri Mah. Namanya Ranti.”
Mamah Widya meletakkan racikan sayur untuk menu makan siang nanti. Jum’at terkesan sebagai hari pendek. Kami sekeluarga baru akan keluar selepas tunaikan sholat Jum’at, berkunjung ke keluarga sepuh mas Bagas.
“Adik tiri?...”
“Aku dan ibu juga sama terkejutnya. Tapi, kami sedang belajar menerima Ranti. Dua hari lalu kami semua berkunjung ke rumahnya di Mataram.”
“Mamah tak tahu harus katakan apa…”
“Bisa beritahu Mamah begini pun Putri sudah senang…,” lemah aku mengedikkan bahu. Bahkan aku pun tak temukan cara lain kenalkan Ranti.