[caption caption="DokPri: Mawar putih Bandungan Semarang."][/caption]Baiq dapati sosok Ranti adik tirinya perlahan sisihkan pujanya yang tanpa henti pada Aluy, sahabatnya sejak kuliah. Dua sosok yang ingatkannya, ialah satu-satunya putri ibunya. Sedingin apa pun hubungan mereka.
(Epilog Aluy 23)
"Ibu, mohon doanya ya. Anak-anak sedang ujian kenaikan kelas. Liburan nanti aku mungkin tak bisa berlama-lama di Lombok. Anak-anak minta ke Disney Land di Hongkong. Tapi awal puasa kami semua akan menemani ibu."
"Ya. Dan biar kamu tak lupa, tak perlu dulu ke Ranti."
Datar, ibu sampai pun perlu ingatkan untuk tak bersama Ranti. Apa pikiranku terbaca? Tadinya aku ingin berbuka bersama keluarga Ranti.Â
"Baik ibu..."
Percakapan selesai. Masih dan selalu dimenangkan ibu. Atau mungkin tak perlu kabari ibu? Atau tutupi kunjunganku ke Ranti dengan beralasan ingin mengunjungi keluarga Aluy? Pantaskah? Percakapan di hatiku enggan selesai.
***
'Dua kali ibuku ingatkanku untuk tak dekati Ranti. Aku nggak ngerti Al. Apa ibuku begitu paham, aku terlihat begitu menyukai Ranti? Cemburukah?'
Emotikon peluk diberikan Aluy, juga senyum lebar. Berikutnya, wajahnya tertunduk sambil sesekali pandangi aku. Kemampuan kami berdua ketikkan kata tanpa harus melihat keyboard setara. Masih dua jam ke depan sebelum anak-anak pulang selepas ujian hari pertama. Aku paksa Aluy terjaga, lakukan video chat via PC.
'Jika pertimbangkan itu sebagai kecemburuan, kamu harus paketkan kopi Lombok ke alamatku hari ini juga. Rasa sayang ibumu yang terbungkus cemburu begitu rupa, patut dirayakan dengan ngopi bareng. Kamu di Jogja, aku di sini.'