Matahari masih jauh meneruskan perjalanannya menepi ke arah barat.Sementara bekas hujan masih tetes menetes diantara rerimbun daun hutan dekat tugu perbatasan Kabupaten Sukabumi-Bogor, Sabtu (25/4).Saat itu saya sedang melintas jalan aspal berbatu yang membelah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), tepatnya di koridor hutan alam yang menghubungkan ekosistem hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak.Sekitar 15 meter dari jalan kabupaten tersebut, terlihat jelas tiga ekor Owa jawa, yang dalam bahasa latin disebut Hylobates moloch, sedang santai berjemur diri.Perlahan dengan mengendap-endap, saya masuk ke tepian hutan berharap bisa menikmati pemandangan langka ini lebih lama.Seekor Owa jantan dewasa duduk paling tinggi di dahan pohon puspa Schima wallichii.Rambut lingkaran putih diwajahnya yang kontras dengan tubuhnya makin membuatnya terlihat berwibawa.Sementara dua Owa yang diduga kuat sebagai betina dewasa dan anaknya perlahan turun bergelayut dahan yang lebih rendah.Sungguh suatu pemandangan yang sangat mengesankan buat saya.Apa pasal ? terakhir saya menjumpai keluarga primata endemik jawa ini secara alami pada saat survei Owa di hutan lindung Gunung Limbung Kabupaten Garut di akhir 2007.Terlintas dalam ingatan saya kalau warna tubuh Owa di kedua lokasi berbeda.Warna tubuh Owa jawa di Gunung Limbung terlihat kehitaman lebih pekat, sementara Owa yang barusan saya lihat berwarna lebih abu-abu.
[caption id="attachment_104219" align="alignnone" width="523" caption="Gambar 1. Hutan alam yang terdapat pada koridor TNGHS lokasi saya mengamati satu keluarga Owa jawa, Sabtu (23/4)"][/caption]
Primata yang mengandalkan pergerakan dengan brachiasi atau bergelayutan ini memang semakin menghadapi ancaman, terutama habitat alaminya yang kian rusak.Hutan-hutan dengan dedahan pepohonan yang rimbun dan bersambungan kian jarang, bebuahan favorit makanannya juga semakin berkurang.Sehingga primata yang tiada berekor ini semakin terdesak dan saat ini tidak mudah lagi menemukan mereka di alam.Badan pelestarian dunia (IUCN) menetapkan primata ini dalam kategori Endangered atau terancam punah.Konsentrasi sebaran Owa saat ini paling banyak berada di Jawa bagian barat, sementara sebagain kecil berada di Jawa bagian tengah.Owa jawa mengandalkan hutan alam yang utuh di kawasan taman nasional untuk menjadi rumah terakhirnya, salah satunya Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Menhut-II/2003 yang menunjuk beberapa kawasan hutan produksi dan hutan lindung di blok Gunung Halimun dan blok Gunung Salak menjadi satu taman nasional seluas 113.357 hektar.Penggabungan ini terutama bertujuan untuk memastikan aliran genetik satwa di dua ekosistem.Untuk itu secara logis, dibutuhkan areal hutan untuk menghubungkan kedua ekosistem hutan yang memanjang seperti lorong sebagai koridor dari barat ke timur.
Menurut kajian ekologi oleh tim endangered species GHSNP-MP JICA tahun 2006 luas koridor TNGHS 4.195 hektar yang secara langsung berbatasan dengan Desa Purasari, Desa Purwabakti di Kabupaten Bogor dan Desa Cihamerang, Desa Cipeuteuy, dan Desa Kabandungan di Kabupaten Sukabumi.Areal ini terbukti menjadi lintasan dan tempat hidup aneka satwa liar.Selain Owa jawa, teridentifikasi juga keberadaan Surili Presbytis comata, Lutung Trachypithecus auratus, Macan tutul Panthera pardus, Kucing hutan Prionailurus bengalensis, dan mamalia lainnya.Selain itu 56 jenis burung yang hidup pada berbagai tipe penggunaan lahan juga teridentifikasi di koridor ini.
Saat ini, kondisi alam koridor jauh dari ideal. Sejak ditetapkan menjadi bagian dari TNGHS, kondisi areal memang sudah mengalami perubahan tata guna lahan misalnya oleh pengolahan lahan secara intensif dan penebangan liar.Hal ini disadari bahwa sebelum areal ini ditetapkan sebagai taman nasional, telah ada bentuk kerjasama pengolahan lahan antara Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan dengan masyarakat sekitar, terutama pada kawasan yang sebelumnya berstatus hutan produksi.Cahyadi (2003) melalui analisis citra satelit menemukan fakta bahwa pada tahun 1990 lebar koridor hutan alam 1,4 km, sementara pada tahun 2001 berubah menjadi hanya 0,7 km.Sisa hutan alam tersebut merupakan kawasan yang sebelumnya berstatus kawasan hutan lindung.Begitu miris mengetahui fakta tersebut.Kita belum tahu seberapa lebar setelah sepuluh tahun terakhir ini.
Owa jawa, kini hanya bisa berharap pada tutupan hutan alam yang tersisa. Perlu upaya bersama untuk meningkatkan kualitas tutupan koridor, agar tujuan perluasan TNGHS dapat lebih berarti bagi pelestarian keanekaragaman hayati.Hal utama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa hutan alam yang saat ini tersisa harus tetap sebagai hutan alam.Pada kawasan-kawasan yang terdegradasi berat perlu dilakukan rehabilitasi dengan jenis asli dan nilai ekonomi tinggi.Pelibatan masyarakat juga menjadi hal yang sangat penting dan mendasar mengingat kebanyakan dari masyarakat telah melakukanpengolahan lahan dalam mekanisme PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) sejak kawasan hutan tersebut dikelola Perhutani dan sebelum ditunjuk sebagai taman nasional.Kesepakatan pengelolaan sumberdaya alam juga perlu ditetapkan dalam semangat melestarikan alam dan peningkatan ekonomi masyarakat.Jika hal ini tidak tercapai, besar kemungkinan hutan akan semakin rusak dan pengolahan lahan intensif makin tidak terkendali.Bukan tidak mungkin Owa jawa, selebriti TNGHS hanya akan menanti di tepi jalan menunggu cabang-cabang pepohonan saling bersambungan yang akan dijadikannya jembatan bertemu dengan keluarga lainnya di seberang hutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H