Suatu waktu, di suasana yang tak tentu aku putuskan untuk bepergian. Dengan tujuan membuang rasa penat. Sebagai seorang manusia yang dituntut untuk menjadi seorang "pria". Mau tidak mau kita harus bekerja sebagaimana layaknya seorang pria, yang kadang menyita waktu dan pikiran. Ada waktunya rasa bosan itu datang. Rasa-rasanya tak salah jika sekali waktu kita rehat sejenak dari pekerjaan untuk sekadar menghilangkan penat. Â Ya aku sudah memutuskan, kemana tujuan yang akan aku tuju. Berhubung bukan seorang yang gemar memperbarui kegiatan di media sosial, tak perlu rasanya pergi ke tempat yang keren.
Hari itu, selasa kedua dibulan Oktober 2014 aku putuskan untuk tida masuk kerja. Hari sebelumnya sudah aku sampaikan ke pada teman kerja (atasan) bahwa esok aku tida masuk. Seperti biasa ketika ada seorang yang tidak masuk kerja pasti lah teman saya akan bertanya " mau interview dimana?". Haha, rasanya sudah hal yang umum kalau kita tidak masuk kerja bisa dipastikan dia pasti sedang interview pekerjaan di tempat lain. Rasanya hal semacam itu adalah menjadi mafhum untuk pekerja di masa seperti ini. Tak ingin bikin penasaran aku jawab aja pertanyaanya dengan mengiyakan. "Ya , besok ada interview di Jakarta sama perusahaan A", begitu jawabku. Entah dapat ilham darimana aku jawab mau pergi Jakarta untuk interview, padahal sebelumnya tak pernah sejauh itu aku pergi untuk mencari kerja. Biasanya hanya di wilayah Bekasi atau Karawang saja kalau interview. Ah sudahlah, terlanjur aku bilang ke Jakarta, aku putuskan pergi ke Jakarta saja, biar bohongnya tak banyak-banyak, haha.
Waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. Hari-hari biasa pastinya aku sudah bangun dan bersiap berangkat kerja. Berhubung hari itu cuti, rasanya masih terlampau dingin air di kamar mandi untuk di jamah. Lagi pun tak ada yang perlu disiapkan. Pukul delapan lewat duapuluh, cahaya matahari sudah mulai menerangi kamar. Ternyata itu sangat mengganggu, karena mata terbiasa tidur dalam keadaan gelap pekat. meski sudah dicoba, tak mampu lagi mata ini terpejam. Dalam sejurus aku sudah membasahi badan ini dengan air dari bak yang aku ciduk dengan gayung. Airnya sudah tak terlalu dingin. Namun di dasar bak aku lihat banyak lumutu dan kotoran. Sudah lupa kapan terakhir kali menguras bak. Mumpung tidak kerja, sekaliyan saja kubersihkan baknya. Hitung-hitung olahraga. Selepas mandi, tak perlu waktu yang lama untuk berpakaian, karena memang tak banyak peralatan rias yang ku punya. Celana hitam, kaos oblong hitam, sudah kupakai. Tinggal menyisir rambut, ah rasanya tak perlu. Rambut yang tumbuh hampir sebahu aku stur dengan jari jemari tangan, dalam hati sambil berucap " macam bintang sampo anti ketombe aja rambut, tak perlu ku pakai sisir, haha". Dengan bangganya memuji diri sendiri. Ah, sudah berpakain rasanya tak lengkap jika tak kupakai wewangian. Aku acak-acak diatas lemari kecil tempat biasa ku menaruh parfum, hanya tersisa botolnya. Haruskah bepergian ke ibukota tanpa wewangian? Hmmmm, bagaimana ini. haha. Haha, tak ada parfum pelicin pakaian pun jadi. Kuambil botol yang biasa kupakai untuk menyemprotkan pelicin pakain ketika menyetrika. Srot-srot kusemprotkan cairan dalam botol itu ke beberapa bagian tubuh. Biarlah, yang penting ada bau-baunya sedikit, daripada bau keringat.
Tiba di terminal, kutitipkan sepeda motor di penitipan sepeda motor. Sang petugas, yang berbadan agak kurus, rambut ikal dan muka agak berjerawat. Dia keluar dari celah-celah sepeda motor yang berjajar, sepertinya habis dia sedang merapikan sepeda motor yang dititipkan disitu. "Pulang jam berapa bang?, atau nginep" tanya orang itu. "Jam lapan malem balik bang", kujawab tanya dia. Lalu dia menulis diatas kertas, dia catat nomor plat motor yang kutitipkan lalu merobeknya dan meberikanya padaku. "Jangan sampai hilang bang, nanti ngambil pakai ini" sambil menyerahkan kertas itu padaku. "Okay bang", jawabku. Ku taruh helm diatas setang motor, lalu kutinggalkan. Cuaca agak terik, dengan pakain serba hitam rasanya makin bikin gerah saja. Dilema rasanya, ingin kulepas jaket yang berwarna hitam juga, agar mengurangi gerah atau tetap kupakai. Biarpun kulit sudah gelap, rasanya cuaca kala itu bisa membuat kulit ini akan lebih gelap lagi.
Didalam bus jurusan ke Kampung Rambutan yang ku naiki, rasanya penuh sesak dengan penumpang. Sepanjang jalan dari terminal ke pintu toll, karena bus jurusan jakarta pasti melewati toll, pedagang silih berganti menawarkan dagangan mereka. Beberapa pengamen pun bergonta-ganti berapa kali, ada yang menyanyikan lagu-lagu lama, ada juga yang membawakan lagu-lagu masa kini. Sedikit menghibur, tapi juga menggangu. Sekitar tiga puluh menit kemudian bus sudah sampai di gerbang toll. Disampingku duduk seorang laki-laki. mungkin dia seorang yang mau cari kerja atau interview juga di Jakarta, sangkaku. Kulihat dari pakaian dia yang rapi. Rasanya canggung bertanya kepada orang asing didalam angkutan umum. Kulihat bus sudah masuk ke jalan toll. Sang supir mengacungkan uang lima ribu rupiah, ditukar dengan selembar karcis oleh petugas jaga gerbang toll. Palang penutup gerbang toll itu dibuka, dan bus boleh masuk ke dalam toll. Brum........ sang supir memacu kendaraan dengan kencang. Perjalana sekitar satu jam di hari kerja. Aku putuskan untuk tidur bersandar di bangku bus, semoga saja ketika bangun sudah sampai Jakarta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI