Mohon tunggu...
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail Mohon Tunggu... Editor - Penulis dan pegiat kebudayaan

Penulis, editor, pegiat kebudayaan dan pemangku blog: musismail.com | twitter: @musismail dan IG @moesismail

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sisi Lain Isbedy Stiawan

17 Mei 2020   14:34 Diperbarui: 17 Mei 2020   14:33 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Saya mendengar nama Isbedy Stiawan ZS sebagai "Paus Sastra Lampung" sekitar dua puluh delapan tahun yang lalu, pada 1992. Nama itu muncul dalam obrolan dengan penyair Aceh Din Saja di Meunasah Tuha, Taman Budaya Banda Aceh. Kala itu saya orang baru dalam dunia sastra (dan juga teater). Saya kerap menimba pengetahuan dan pengalaman dari para seniman senior, salah satu di antaranya Bang Din -- begitu kami menyapa penyair yang dulu memakai nama Ade Sukma dan berkesenian di Padang itu.

Saya tidak bertanya bagaimana munculnya julukan paus itu. Yang terbayang di kepala saya bahwa jika seseorang.mendapat julukan paus pastilah orang ini sangat penting. Seperti halnya paus sastra Indonesia HB Jassin, atau paus-paus lain, misalnya paus yang menjadi pemimpin umat Kristiani. Saya kira banyak anak muda pecinta dan pegiat/penulis sastra pun tak tahu: bagaimana ceritanya julukan itu disematkan kepada Isbedy?

Sebetulnya kami sama-sama "alumni TIM". Isbedy diundang baca puisi di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Forum Puisi Indonesia 1987 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Adapun saya diundang baca puisi di TIM pada 1996 dalam forum Mimbar Penyair Abad (MPA) 21 yang diadakan DKJ bersama 62 penyair muda dari Indonesia lainnya. Dulu, di era mesin ketik, diundang baca puisi ke TIM dianggap sebagai pengakuan terhadap eksistensi seseorang penyair. TIM adalah tempat "pembaptisan" seseorang.

Meski namanya besar dan mentereng, Isbedy adalah sosok yang ramah dan rendah hati. Sejak dulu ia tidak "jaim" ketika berhadapan dengan yang muda-muda. Lelaki kelahiran Lampung, 5 Juni 1958, itu pun tampak mengamati anak-anak muda tumbuh. Bahkan, ia ikut mendorong tumbuhnya bibit-bibit muda dalam kepenyairan. Salah satunya  dengan mendirikan Lamban Sastra Isbedy Stiawan. Siapa saja anak muda atau mantan anak muda yang pernah belajar menulis bersama Isbedy dan kemudian mewarnai halaman sastra di media?

Tapi Isbedy tak melulu mengurus sastra. Ia juga dikenal sebagai wartawan dan masih meliput, menulis dan mengedit berita hingga kini. Jadi ia adalah wartawan sejati. Bahkan, menurut kabar angin ia mendirikan atau terlibat dalam pendirian sejumlah media online. Tapi soal ini belum sempat saya konfirmasi kebenarannya kepada Isbedy: benarkah ia berada di balik sejumlah media online di Lampung?

Tapi saya tak tahu, siapa duluan antara menjadi penyair atau menjadi wartawan. Tapi yang jelas dunia kepenyairan memang tidak bisa membuat bisa seseorang menjadi cukup untuk hidup. Honor puisi sangat kecil. Apalagi royalti buku puisi. Bahkan tak jarang penyair menerbitkan sendiri buku-bukunya. Namun suatu kali, Isbedy pernah mengatakan setelah pensiun dari sebuah media besar di Lampung ia total hidup dari menulis.

Di luar aktivitas menulis, ia juga menggelar dan menggerakkan sejumlah acara sastra di Lampung. Ia pun terlibat dalam sejumlah organisasi masyarakat. Bahkan dalam beberapa foto yang saya lihat di Facebooknya ia tampak tengah membagi-bagikan masker kepada pengendara di jalanan kota di Lampung..Melihat seragam yang dipakai pada saat itu, jelas itu bukan kegiatan komunitas sastra atau seragam sastrawan Lampung. Saya tak tahu apakah keterlibatannya dalam sejumlah ormas itu ia sedang merintis jalan menjadi calon bupati atau wali kota?

Di tengah pandemi Corona ia juga paling keras berteriak perlunya pemerintah memperhatikan seniman, terutama seniman tradisional. Ia bahkan menulis surat terbuka kepada Gubernur Lampung untuk mengingatkannya memperhatikan nasib seminan yang ikut berdampak karena Pandemi #covid19 mulai dari pembatalan pentas, acara, hingga tak bisa bekerja karena pembahasan sosial #dirumahaja
untuk memutus mata rantai virus mematikan itu

Apalagi kini seniman menjalani #ramadhan dan sebentar lagi #lebaran #idulfitri. Menjelang akhir suratnya Isbedy menulis: "Apakah seniman tak berhak merayakan hari kemenangan?" Ia lalu mengutip sajak penyair Sitor Situmorang yang kesohor itu berjudul "Malam Lebaran" yang isinya: bulan di atas kuburan.

Nah, nanti sore (Minggu, 17 Mei 2020 pukul 17.00-17.45) saya akan mengajak ngobrol Isbedy di akun Instagram saya @moesismail. Rekaman obrolan bisa juga disimak keesokan harinya di channel "BangMoes" di YouTube. Teman-teman tidak hanya bisa mendengar obrolan kami, tapi jika bisa bertanya jika ada hal-hal yang bikin penasaran. Sampai ketemu nanti sore jam lima ya.

MI 170520

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun