Para penulis sastra kini makin berat menghadiri festival-festival sastra di berbagai tempat. Pasalnya, ongkos perjalanan kian tak bersahabat. Sebagai contoh, tahun lalu, untuk menghadiri Festival Sastra Bengkulu, ongkos perjalanan udara terendah masih Rp 400 ribuan, kini sekitar Rp 800 ribuan.Â
Contoh lain, dua tahun lalu untuk menghadiri Festival Puisi Kopi di Takengon, Aceh Tengah, ongkos angkutan udara dari Jakarta kurang dari Rp 1 juta sekali jalan, kini hampir Rp 2 juta.
Pekan lalu, sejumlah sastrawan urung mengikuti Rainy Day Literary Festival di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, karena biaya perjalanan tinggi.Â
Tahun lalu, harga tiket masih dapat Rp 500-600 ribuan, tapi kini sekitar Rp 1 juta. "Saya sendiri baru saja menarik keterlibatan saya dalam Banjarbaru's Rainy Day Literary Festival ....karena keterbatasan dana," tulis seorang  penyair berkomentar di thread saya di Twitter @musismail. Lihat thread itu di sini: https://tinyurl.com/tiketmahal.
Ironisnya, tiket ke luar negeri jauh lebih murah ketimbang perjalanan antar kota di Indonesia. Lihat saja,
tiket pesawat dari Jakarta ke Kuala Lumpur (untuk 14 Desember 2019 versi Traveloka, diakses pada 4 Desember pukul 00.20 WIB) Â jauh lebih murah ketimbang dari Jakarta ke Padang, Sumatera Barat.Â
Meski waktu tempuh ke Kuala Lumpur lebih lama (1 jam 55 menit) Â dan ke Padang (1 jam 45 menit). Ongkos ke Kuala Lumpur Rp 675.00, adapun ke Padang Rp 947.800.
Itu sebabnya, ketika ongkos perjalanan naik tiga kali lipat sebelum dan pada Lebaran 2019, sebagian orang menempuh cara melingkar: dari Jakarta terbang dulu ke Kuala Lumpur, baru terbang ke kota-kota di Sumatera, seperti Riau, Padang, Medan dan Aceh.Â
Harga tiket kemudian memang turun, tapi tetap tidak ke harga semula. Bahkan, salah satu perusahaan penerbangan sekaligus memangkas bagasi gratis. Padahal sastrawan kerap tukaran buku di kegiatan-kegiatan sastra. Pergi bawa buku, pulang bawa lebih banyak lagi.
Seperti diketahui, lazimnya panitia festival sastra tidak menanggung ongkos perjalanan para peserta. Maka itu, mereka harus membiayainya sendiri. Â Boleh jadi, nanti, festival-festival sastra itu akan sepi.Â
Tentu saja, semarak sastra akan berhenti dan pertukaran ide, gagasan, pentas karya, dan berjejaring yang kerap terjadi dalam festival-festival itu akan tinggal kenangan.Â