[caption caption="Sumber: amarketingexpert.com"][/caption]Bernegosiasi honor, bagi seorang penulis, itu sah-sah saja. Bahkan sejak awal, sebelum kegiatan, sebaiknya soal honor dan transport itu sudah klir antara penulis dengan pengundang. Sebab, menulis adalah kerja profesional. Ketika hadir di sebuah acara penulis memerlukan transport, makan-minum, hingga oleh-oleh kalau acara itu di luar kota.
Jadi, sangat disarankan penulis bernegosiasi honor secara elegan, tidak saling menekan satu sama lain. Tidak pula menjual mahal dengan mematok honor tinggi hingga Rp 25 juta misalnya. Siapa lo? Reaksi spontan akan seperti itu jika kita memberi angka gak kira-kira. Lalu berapa wajarnya? Iya, ukurlah diri sendiri sekaligus panitianya.Â
Kalau panitianya komunitas seni atau diadakan oleh sebuah komunitas budaya ya kurang asyik saja kalau kita terlalu ngelunjak. Untuk instansi pemerintah mereka biasanya sudah ada aturannya sendiri merujuk pada peraturan atau keputusan menteri keuangan. Nah jika perusahaan swasta yang besar ya bolehlah kita sedikit minta di atas rata-rata. Tapi tidak pula kita pasang tarif seenaknya. Bukan hanya tak jadi diundang, kita bisa pula menjadi pecundang. Bisa-bisa kita dibuli habis-habisan. Tentu itu bukan sesuatu yang bagus untuk kita.
Pada dasarnya, sebuah undangan adalah sebuah ruang bagi kita untuk memperluas jejaring dan relasi. Maka di sini tidak semata-mata mengejar uang. Benar kita, penulis, adalah kaum profesional. Dan justru bisa menempatkan diri adalah sikap profesional. Tidak terlalu merendah dan tidak pula terlalu merasa tinggi. Tempatkan pada porsinya.
Boleh jadi kita mendapatkan sedikit honor pada sebuah acara, boleh jadi karena melihat penampilan kita di acara itu orang lain mengundang kita untuk acara lainnya mungkin dengan honor jauh di atasnya. Dengan kata lain, rezeki itu sudah ada jatahnya masing-masing. Tugas kita berusaha dan melaksanakan setiap usaha itu dengan sepenuh hati dan raga.Â
 [caption caption="Ilustrasi: musismail"]
Itu satu hal. Hal lain, dalam teori ekonomi ada yang disebut "mengejar kuantitas". Â Sebuah produk dengan kualitasnya sama, namun harga sedang-sedang saja tentu akan dibeli oleh lebih banyak orang. Alhasil makin banyak pendapatan dapat diraih. Tidak sepi order atau mati angin. Sebab harganya terjangkau dan bersahabat. Tidak mencekik leher. Sehingga sama-sama nyaman. Sama-sama asyik.
Hmm, ini kedua kali saya menulis tentang honor. Sebelumnya, sekitar setahun lalu juga pernah menulis hal yang sama di blog pribadi saya musismail.com. Lecutannya tentu saja beda. Kini saya menulis karena ada heboh seorang penulis meminta honor untuk 60 menit acara senilai Rp 25 juta. Masalah ini kini sedang ramai dibicarakan.Â
Tahun lalu saya menulis tentang honor karena saya apes. Diundang menjadi pengisi sebuah acara namun pulangnya sang pengundang cuek-cuek saja. Padahal saya sudah bela-belain menyediakan waktu khusus untuk itu -- sampai minta izin dari kantor -- demi bisa hadir mengisi acara itu. Sudah pakaian rapi pula, ya seperti layaknya mau jadi penampil di sebuah acara. Untungnya saya tak punya jas dan dasi. Jika punya betapa kasihan itu jas dan dasi!
Untung pula saya tidak pakai supir dan menyetir sendiri sehingga tidak perlu menanggung makan-minum supir. Jadi saya cukup isi bensin. Coba jika saya punya supir, apalagi punya sekretaris dan ajudan, berapa biaya yang harus saya tanggung demi mengisi sebuah acara!
Mungkin panitia acara itu tidak sampai ke situ pikirannya. Mungkin saja ia berpikir saya naik sajadah Aladdin yang gratis. Makan-minum pun sudah ditanggung Aladdin. Peristiwa itu belum seberapa. Ada yang lebih parah lagi, lebih jauh tempatnya, lebih mepet waktunya sampai-sampai saya harus mengebut membaca bahannya  Tapi itu lain kali saya ceritakan. Kereta Commuter Line yang saya naiki di Stasiun Palmerah hampir sampai di Rawa Buntu, tempat saya turun untuk pulang ke rumah di Pamulang. Selamat malam. Â